Rabu, 19 Januari 2011

EDUCATION FOR HAPPINESS




Dalam kesempatan yang baik ini saya ingin berbagi pemikiran dan perasaan tentang bagaimana sebaiknya kita memandang pendidikan dengan sedikit berbeda. Saya melihat pendidikan bukan saja suatu aspek untuk mencapai kesejahteraan, namun jauh lebih dari itu yakni adalah jalan meraih kebahagiaan.


Hasil survei tingkat kebahagiaan yang diadakan oleh Yayasan Indonesia Bahagia pada tahun 2009 terhadap 500 orang warga Jakarta menunjukan bahwa orang yang mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi relatif lebih bahagia. Itu artinya kita dapat berasumsi bahwa pendidikan memberikan andil yang bermakna terhadap kebahagiaan seseorang.


Abraham Maslow, seorang tokoh Psikologi Humanistik mengatakan bahwa puncak kebahagiaan seseorang adalah ketika ia dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Dalam teorinya Maslow menunjukan pemenuhan kebutuhan tingkat ini ditandai oleh suatu pengalaman puncak atau “peak experience” yang meliputi perasaan lebih dari sekedar kepuasaan dan kesenangan atas pencapaian, bahkan jauh dibalik perasaan yang terungkapkan. Ada juga yang berpendapat peak experience adalah pengalaman merasa menyatu dengan alam dan selebihnya. Merupakan suatu common sense setiap orang yang berhasil meraih cita-cita sesuai dengan yang diharapkan akan mengalami perasaan ini saat dia berada pada state kesadaran tersebut di atas. Hanya saja masih banyak orang yang tidak dapat mengenalinya. Kebahagiaan adalah suatu perasaan yang sangat berbeda dengan kesenangan dan kepuasan. Kebahagiaan jauh dibalik kesenangan dan kepuasan yang kerap tidak berkaitan dengan hal-hal yang fisik atau materi (bendawi/ duniawi), namun ia lebih berkaitan dengan yang batin, hakikat dan ukhrawi. Nah, sekarang pertanyaannya pendidikan seperti apa yang membuat orang bahagia? Jawabannya adalah pendidikan berbasiskan nilai-nilai universal. Tujuan pendidikan berbasis nilai menurut HAM/ UNESCO adalah “Untuk mengokohkan kembali keyakinan pada Hak Asasi Manusia yang mendasar, pada harga diri dan nilai seseorang sebagai manusia”.


Belakangan ini pendidikan karakter (character building) semakin menjadi buah bibir di berbagai negara bahkan di seluruh dunia terutama berbagai lembaga, organisasi pemerintah dan non pemerintah. Sebagaimana di negara-negara lain di negara kitapun wacana tentang pendidikan karakter sering menjadi headline. Mereka membicarakan cara-cara pengembangan diri manusia yang holistik yakni yang berorientasi pada kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Namun pendekatan atau metode yang digunakan oleh para pendidik masih dirasa kurang tepat, sehingga hasil yang ditampakkan kerap mengecewakan. Hal ini memberikan kesan seolah lembaga pendidikan formal maupun non-formal tidak mampu melahirkan manusia yang berbudi luhur.


Komisi International UNESCO dalam sebuah laporan tentang pendidikan di abad 21 menyatakan pendidikan nilai merupakan sarana untuk membangun kesadaran akan pentingnya menciptakan perdamaian dunia agar terciptanya kehidupan yang lebih nyaman. Dalam konferensi UNESCO ditahun 1998 dibahas empat pilar sifat belajar yaitu Belajar Untuk Melakukan, Belajar Untuk Mengetahui, Belajar Untuk Hidup Bersama, dan Belajar Untuk Menjadi. Dua pilar terakhir diakui kurang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini. Terbukti meningkatnya kecemasan para orang tua mengenai anak-anak, adanya keraguan sebagai generasi penerus bangsa di masa mendatang. Kita juga kerap mendengar meningkatnya tindakan anarkis, bunuh diri, ketergantungan obat-obat terlarang, pelecehan seksual, penyimpangan norma-norma yang merugikan kesejahteraan orang banyak seperti misalnya korupsi.


Dalam pendidikan berbasis nilai ditekankan bahwa setiap individu adalah seorang manusia sempurna yang berhak menjadi dirinya sendiri dan hidup bersama dengan manusia lainnya yang saling terkait satu sama lain. Adalah fitrah manusia memiliki kebutuhan untuk merasa dicintai, merasa dipahami, merasa aman, merasa diakui dan dihargai. Namun kehidupan yang hedon, konsumerisme, menitikberatkan pencapaian-pencapaian berdasarkan materialistik alih-alih membuat manusia bahagia, namun sebaliknya berdampak pada timbulnya keresahan, ketegangan fisik, dan kalutnya pikiran.


Pada kondisi demikian orang cenderung menyelesaikan masalah dengan jalan pintas dan tidak tenang. Padahal persoalan yang diselesaikan dengan kekerasan dan tergesa-gesa sangat merugikan diri sendiri serta menghasilkan penyesalan di kemudian hari. Seorang pendidik sangat penting memiliki kemampuan pengendalian diri mengingat pendidik merupakan model bagi murid. Pendidikan berbasiskan nilai-nilai menawarkan tools yang luwes dan karenanya diperlukan keluwesan pula ketika menggunakannya sebab setiap tindakan didasari nilai-nilai yang diusungnya. Melalui berbagai aktifitas nilai selama kegiatan belajar mengajar berlangsung para siswa bebas mengekspresikan perasaan dan ide-ide tanpa takut ditolak. kebersamaan terasa begitu indah dan ruang belajarpun terasa menyejukkan.


Dalam konteks Kebahagiaan, Dr. Martin Selligman, seorang pencetus Psikologi Positif, sebuah mazhab baru dalam dunia Psikologi Modern berpendapat bahwa; “Manusia tidak hanya ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan”. Martin Selligman dengan konsep Psikologi Positif mengajak kita untuk memandang “ke depan” dan berprasangka baik dalam mengatasi persoalan hidup. Untuk itu diperlukan melihat setiap diri dengan cara-cara yang positif pula. Sebab pada dasarnya sifat manusia baik, damai, kuat, penuh cinta kasih dan cerdas. Inilah kualitas manusia yang hakiki dan dengan menyadari saja sepenuhnya kualitas tersebut manusia sudah bahagia.


Dengan alasan inilah manusia akan senantiasa berjuang untuk kembali kepada state kebahagiaan. Namun kebahagiaan macam apa yang didambakan manusia? Sudah disebutkan di atas bahwa kebahagiaan bukanlah kesenangan ataupun kepuasan walau pada tingkat awal bisa saja dikatakan demikian. Kesenangan dan kepuasan hanyalah kebahagiaan semu karena berlangsung sementara dan situasional. Sedangkan kebahagiaan yang otentik memiliki rentang waktu yang jauh lebih panjang sebagaimana kebahagiaan yang hakiki.


Di dalam kitab suci-Nya terdapat ayat berbunyi : “… Allah akan meningkatkan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat … “ (Q.S Al-Mujadilah/ 58: 11).


Firman Allah SWT di atas memperkuat keyakinan saya untuk mengamini teori Aktualisasi Diri-nya Maslow dan teori Psikologi Positif-nya Selligman. Saya menganggap pandangan kedua tokoh itu sebagai pendekatan yang dapat digunakan untuk membantu orang meraih kebahagiaan yang hakiki. Makna derajat dalam makna eksoteris dapat diartikan tingkat atau kelas yang merujuk pada status sosial. Sementara dalam makna esoteris merujuk pada kualitas jiwa (nafs) atau suatu tingkat kualitas kesadaran yang lebih tinggi, yang biasanya disebut Kesadaran Ruhaniah, ada pula yang menyebutnya Kesadaran Ilahiah. Dari tingkat kesadaran inilah nilai-nilai luhur tercermin dalam perilakunya.


Pendidikan berbasiskan nilai-nilai mampu menciptakan suasana nyaman dan ceria dan karenanya memungkinkan tiap orang memiliki kesempatan menggali potensi yang ada di dalam dirinya dengan lebih terbuka. Siswa tidak ragu menampilkan keunikan, yang khas tentang dirinya dengan tetap menghargai teman-teman, guru serta berkomitmen pada aturan-aturan bersama. Keterbukaan dalam proses pendidikan melahirkan kreatifitas dimana ketika mencapainya ia mendapatkan pengalaman puncak (peak experience) yang bermakna. Pengalaman yang tidak dapat diukur secara indrawi, namun pengalaman yang jauh merasuk ke dalam dunia batin yang tak terkatakan namun kemudian mereka tahu itulah kebahagiaan sejati atau kebahagiaan otentik.


“Aku bisa hidup dengan bahagia pada moment kini hanya dengan mengingat bahwa aku sudah memiliki potensi secukupnya untuk berbahagia”
(Zen Master, Thich Nhat Hanh)



Oleh: Rani Anggraeni Dewi