Kamis, 06 Mei 2010

PRIBADI DINAMIS




Psikologi Humanistik, salah satu mazhab dalam Psikologi berpandangan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik minimal lebih banyak baiknya daripada buruknya. Aliran ini mengemukakan suatu teori yang memusatkan perhatian pada kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpatri pada eksistensi manusia seperti antara lain; kemampuan imajinasi, analisis, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri dan lain-lain.

Victor Frankl, salah satu pakar aliran ini memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Logoterapi, aliran dalam Psikologi Humanistik merumuskan ajaran sebagai berikut;

Kehidupan—baik dalam kondisi normal dan menyenangkan maupun dalam penderitaan senantiasa mengandung hal-hal bermakna di dalamnya. Dan setiap orang memiliki motivasi utama dalam hidupnya yaitu keinginan agar hidupnya bermakna dan bahagia. Dalam hal ini setiap manusia (normal) memiliki kemampuan dan kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan arti hidupnya melalui apa yang dikerjakan, dihayati, dan sikap tepat atas penderitaan yang tak dapat dielakkan lagi.

Pribadi Dinamis adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang mampu meraih hidup bermakna dan mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahami serta merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya keruhanian yang dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.

Pribadi Dinamis memiliki pengetahuan akan karakteristik eksistensi manusia sedikitnya 3 (tiga) hal sebagai berikut:

a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
b. The will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna)
c. The meaning of life (makna hidup)

Ketiga nilai filosofis tersebut di atas hendaknya berlandaskan tanggung jawab dan keruhanian (responsibility and spirituality).

a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Manusia secara fitri sebenarnya memiliki kebebasan yang luas sekalipun sifatnya tidak tak-terbatas karena harus diikuti dengan tanggung jawab (responsibility) dan keruhanian (spirituality).

b. The will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna)
Manusia mempunyai banyak sekali keinginan. Tetapi hendaknya keinginan yang paling kuat adalah keinginan untuk meraih hidup bermakna. Keinginan inilah yang mendorong manusia untuk terus berkarya sepanjang hidupnya. Hasrat untuk hidup bermakna adalah motivasi utama yang dimiliki pribadi dinamis menjadi pribadi yang berharga, memiliki tujuan hidup yang jelas dan sarat dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna pula.

c. The meaning of life (makna hidup)
Makna hidup adalah hal-hal khusus yang di rasakan penting dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta layak dijadikan sebagai tujuan hidup yang harus di raih.

Karakteristik dan fungsi dari makna hidup;
Sifatnya unik, temporer dan personal, spesifik dan konkrit, dapat ditemukan dalam kehidupan dan pengalaman sehari-hari. Fungsinya sebagai pedoman terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Dengan berbekal pengetahuan akan karakteristik eksistensi manusia tersebut di atas, maka dia (pribadi dinamis) terdorong termotivasi terus untuk melakukan “aktualisasi diri”, yaitu suatu tahap tertinggi dari tahap kebutuhan-kebutuhan manusia yang inherent (hirarki kebutuhan Abraham Maslow). Oleh karena itu, aktualisasi diri dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan ketiga nilai eksistensi manusia tersebut di atas. Buah mewujudkan ketiga nilai eksistensi manusia tersebut adalah self esteem.



By: Rani A. Dewi

Rabu, 05 Mei 2010

AKTUALISASI PENGASUHAN ANAK





Masih ingatkah Anda ketika awalnya Anda memasuki dunia baru, dunia perkawinan, dunia berrumah tangga, membentuk keluarga sendiri. Tentu Anda akan langsung menerawang – menelusuri kembali – bagaimana Anda berdua atau mungkin secara pribadi saja – membayangkan sebuah keluarga yang Anda inginkan itu terwujud. Saya yakin, pasti Anda juga memikirkan tentang pengasuhan anak, bahkan ada yang mulai membaca buku, mengikuti seminar-seminar atau bertanya pada ahlinya, atau bisa jadi malah tidak memikirkannya sama sekali.

“Ah gimana entar ajalah”, “Gampang”, “Lahir aja belum”, begitulah. Saya pernah berulangkali mendengar dari calon orang tua di lingkungan saya. Memang kalau direnungkan sebenarnya kita ini kan tidak pernah serius memperhatikan hal itu. Apalagi tidak ada “Sekolah untuk menjadi orang tua”. Sementara sekolah untuk menjadi pimpinan perusahaan banyak, bahkan menjamur. Hampir semua menawarkan cara-cara yang jitu menjadi eksekutif yang sukses, dan saya yakin Anda pasti setuju dengan saya, bahwa semua orang tua bangga bila kelak anaknya menjadi salah satu di antaranya.

Kemudian kita pun membayangkan punya anak yang “Eksekutif Sukses” tadi, betapa bahagianya dihari tua kita, hidup terjamin, senang – segala sesuatunya dilayani dan serba ada. Tidak lupa pula “berhalo-halo” kepada kerabat, keluarga serta tetangga bahwa anak kita sudah menjadi “Ini” dan menjadi “Itu”. “Wah hebat ya anakmu”, kata mereka sambil berdecak. Kita pun dalam hati – merasa sukses – juga ada kenikmatan tersendiri mendengar pujian itu, betulkan?

Tapi apakah sukses menurut kita itu sama dengan sukses yang dimaksud oleh anak-anak kita? Apakah nilai sukses yang dulu ditanamkan oleh orang tua kepada kita dulu masih berlaku bagi anak-anak kita sekarang? Mari kita renungkan kembali. Yang saya tahu dan saya alami, dulu ditanamkan nilai-nilai sukses pada benak saya, seperti:

1. Bila setamat SMU saya masuk Perguruan Tinggi, lebih utama bila UMPTN dengan rangking satu atau yang popular.
2. Kemudian saya menjadi Sarjana, apalagi bila sesuai dengan gelar kesarjanaanya orang tua.
3. Setelah jadi sarjana, bekerja pada suatu Lembaga atau Departemen, misalnya BUMN.
4. Mendapatkan jaminan kesejahteraan yang “Wah” dari Lembaga tersebut (termasuk tunjangan hari tua).
5. Setelah + 20th bekerja, berhasil menjadi pimpinan, direktur, naik mobil mewah, tinggal di rumah dinas yang mewah dijaga satpam atau mungkin juga tinggal di rumah pribadi yang letaknya di daerah elit.
6. Mondar-mandir bertugas ke luar negeri (mungkin juga hanya jalan-jalan).
7. Menjadi orang terkenal (top deh), misalnya: pejabat, tokoh masyarakat, semacam selebriti.

Mungkin saja Anda juga mengalami kondisi yang sama dengan saya, sebab standard nilai sukses tersebut di atas memang bersifat sangat “Komensens dan Tradisional – Normatif” menurut masyarakat modern dewasa ini – terutama yang hidup di kota-kota besar, di mana pembangunan fisik sangat pesat. Seringkali karena ingin dikatakan orang tua yang sukses menurut standard nilai seperti di atas – seperti yang dianut oleh masyarakat – lingkungan di mana kita berada, maka dengan segala upaya kita memaksakan pula menanamkan standard nilai tersebut pada anak-anak kita tanpa meninjaunya kembali – bagaimana perasaan mereka “yang diharapkan menjadi orang yang seperti kita inginkan kelak”.

Padahal menjadikan anak-anak seperti yang kita inginkan, yang sukses menurut standard kita belum berarti memenuhi standard Allah SWT.

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami membalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh …” (Surat At-Tiin Ayat 4,5,6).

Al-Hujjah Al-Akbar, Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”. (Al-Ghazali, Mizanul Amal, 1961, I, 361).

Kemudian Herbart, seorang ahli didik Jerman (1776 – 1841) juga berpendapat bahwa “Tujuan yang asli dari Pendidikan ialah mempertinggi akhlak kemanusiaan”. (Drs. Zaiuddin, dkk, Seluk beluk pendidikan dari Al-Ghazali hal 45).

Dan kita semua sudah tahu bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad S.A.W diutus ke dunia dengan tugasnya yang utama adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.

Standard nilai sukses yang kita anut selama ini, yang kita terapkan pada anak-anak kita, tidaklah salah. Namun itu semata-mata hanya sukses pada tataran kulit atau sukses lahiriah saja (Aspek Intelektualitas) yang belum dan bahkan mungkin jauh dari sukses yang diinginkan oleh Allah S.W.T. Karena penekanannya adalah pada akhlak dan yang beramal shaleh, maka intelektualitas bukanlah apa-apa bila tidak dilengkapi dengan aspek kematangan emosional dan spiritual.

Tetapi bagaimana kita, para orang tua bisa menanamkan dan menumbuhkan ketiga kematangan tersebut di atas bila kita masih saja “keukeuh” (Sunda) menganut nilai-nilai sukses seperti tersebut di atas, menjadikan mereka seperti “yang kita inginkan”. Jadi jangan salahkan mereka bila anak-anak tumbuh dengan sikap yang berorientasi pada kehidupan materi (kebendaan), merasa benar selalu, keras hati, tidak asertif, mudah labil, kurang kreatif, dan tidak percaya diri, serta tidak memiliki “sense of crisis” yang tinggi.

Untuk bertahan hidup dan bahagia lahir batin, kesuksesan yang diraih hendaknya tidak sebatas lahiriah saja, sebatas kehidupan di dunia semata, tetapi hendaknya menghasilkan makna yang lebih dalam menembus batin, kemudian berakhir bahagia di kehidupan akhirat yang abadi. Al-Ghazali, seorang ahli pendidikan Muslim dan ahli tasawuf pada abad 5 H (450 H) berpendapat bahwa, “Pendidikan hendaknya ditujukan kearah mendekatkan diri kepada Allah S.W.T dan dari sanalah akan diperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat”.

Kini sudah saatnya kita para orang tua, para pendidik melakukan “Paradigm Shift” (Hijrah) apakah kita masih perlu menganut standard nilai sukses itu seperti yang dianut masyarakat pada umumnya ataukah kita berani menjadi orang tua yang berbeda yang berani menerobos nilai-nilai lama itu. Menurut hemat saya nilai-nilai tersebut sudah tidak compatible lagi untuk anak-anak di era ini. Setiap anak terlahir untuk zamannya, bukan zaman di mana orang tuanya dulu dibesarkan.

Dalam sebuah laporan riset yang diuraikan pada buku “Raising Self Reliant children in a self indulgent world”, pengarangnya menulis bahwa: “Agar anak berkembang dewasa utuh dan sukses lahir batin, mereka harus diajak bicara secara jujur dan dilibatkan dalam percakapan serta pengambilan keputusan yang sepadan dengan tingkat pemahaman mereka. Riset tersebut juga mengkonfirmasi bahwa dialog dan kerjasama membentuk fondasi perkembangan moral dan etika, pemikiran kritis, kematangan penilaian dan mengajarkan efektifitas dalam bertindak. Anak-anak sekarang sering dibesarkan secara pasif dengan sedikit peluang untuk menemukan identitas mereka dan mengenal bakat-bakat mereka sebelum terjun ke masyarakat yang semakin terafiliasi dan bersifat teknis. Kalau pun mereka tahu apa yang ingin mereka capai sering terhambat oleh orang tua yang “Keukeuh” tadi.

Jika kita bersedia mendengarkan suara hati mereka, memberi waktu dan energi untuk mengasuh anak-anak kita sesuai dengan fitrah mereka, ajarkanlah pada mereka bagaimana seharusnya kita memahami dunia apa adanya – secara realistis. Setelah itu kita perlu membiarkan mereka menapaki jalannya sendiri sekali pun mungkin sekali- kali mereka tampak ekstrim. Tetapi jika kita bersikap egaliter, sesuai dengan kondisi jiwa mereka, “berdialog”, untuk mereka percaya pada diri sendiri dan yakin akan kapasitasnya bahwa mereka mampu menjalani hidup menurut nilai-nilai mereka sendiri (tetap dalam koridor kaidah-kaidah agama), maka bukankah kita tidak perlu mengatur apalagi meyakinkan nilai-nilai sukses menurut kita, kita perlu juga mendengar “Suara Hati” mereka.

Penting untuk diingat bahwa sesungguhnya setiap anak membawa tugas masing-masing untuk diselesaikan dimasa hidupnya. Mereka dilahirkan bukan semata-mata untuk dibentuk oleh pengaruh-pengaruh orang tua. Paradigma baru mengasuh, mendidik anak ini merupakan penambahan dimensi yang tidak kita miliki ketika kita dibesarkan oleh orang tua kita. Jadi adalah wajar bila anak-anak kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita, mengambil jalan yang menurut kita “lain” dan “keliru”, (Dianggap demikian karena tidak sama dengan kita).

Saya ingin berbagi ide pengasuhan anak yang selama ini saya terapkan terhadap anak-anak saya sendiri. Bisa jadi saya adalah orang tua yang berani berbeda – yang menganut nilai-nilai yang tidak sama seperti pada umumnya, sebab itu saya akan merasa sukses sebagai orang tua bila saya melihat anak-anak saya bersikap:
- Jujur pada dirinya sendiri, sekali pun yang dikatakannya boleh jadi menyakitkan kita.
- Berani menghadapi kenyataan sekali pun pahit.
- Percaya diri, sekali pun harus berbeda dengan orang lain di lingkungannya.
- Menghormati perbedaan apa pun termasuk perbedaan dalam hal belief and faith.
- Tahu apa yang ingin dicapai dalam hidupnya (memiliki visi)
- Sadar akan potensinya yang perlu dikembangkan (kenal diri).
- Mampu memotifasi diri untuk belajar hal-hal yang baru.
- Mampu bersikap asertif, yakni mengungkapkan kebutuhan pribadi tanpa mengorbankan kebutuhan orang lain.
- Memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi dan situasi baru.
- Rendah hati dan mampu mengendalikan emosi (nafsu).
- Dapat memaknai setiap peristiwa yang dihadapi sebagai suatu jalan menuju perbaikan.
Bagaimana membantu anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa utuh yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual?

1. “Hadirlah” untuk mereka dan dengarkan suara hatinya (mind, body and soul).
2. Perkenalkan nilai-nilai Anda dengan memberikan contoh.
3. Perlakukan anak sebagai makhluk Spiritual dengan misi tertentu yang harus mereka penuhi. Anda dapat mengamati hidup tapi tidak bisa mengontrol nasib mereka.
4. Akuilah “kebenaran” yang mereka sampaikan.
5. Bersikaplah terbuka atas pengalaman-pengalaman hidup mereka sekali pun “yang tidak enak”.
6. Ceritakan proses pengembangan kepribadian Anda selama ini.
7. Berilah kesempatan mereka untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri.
8. Bersedialah belajar dari mereka, artinya siap-siaplah “digurui” mereka.
9. Stop memberikan penilaian, atau labeling apalagi menganalisa mereka.
10. Tidak terlalu cepat membantu, beri mereka kesempatan berbuat menurut idenya sendiri.
11. Diskusikan masalah keluarga mulai dari hal-hal yang sepele, sesuai dengan umurnya.
12. Sadarlah bila mereka sukses, maka itu karena usaha mereka yang diridhai oleh Allah S.W.T, bukan karena cara pengasuhan Anda yang canggih.
13. Katakanlah dengan tulus, bahwa Anda mencintai mereka apa adanya.

Saya memahami bahwa tidaklah mudah merubah kebiasaan, namun renungkanlah cara-cara tersebut di atas sekarang juga, bayangkan manfaatnya bagi hubungan Anda dan anak-anak kelak ketika mereka sudah dewasa sebelum Anda mempraktekannya. Keluarga Anda Insya Allah menjadi sebuah keluarga yang terdiri dari para sahabat yang saling membutuhkan kasih sayang. Dan Anda pun tidak menjadi orang tua yang kesepian. Belum pernah ada satu pun teori pendidikan anak yang mutlak benar untuk semua anak, mengingat manusia secara individu adalah “UNIK”.


By: Rani A. Dewi

MENGAPA POLIGAMI




Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukan merupakan masalah baru. Artinya masalah ini telah ada dalam kehidupan ini dan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan peradaban manusia.

Saya mengetahui juga bahwa poligami bukan hanya dilakukan oleh orang-orang Arab atau Islam, tapi dilakukan juga oleh non-Arab dan non muslim. Dahulu kala sebelum Islam datang, poligami dilakukan tanpa batas dan tanpa dasar hukumnya, orang melakukannya atas sekehendak hatinya. Dan umumnya hanya untuk pemuasan nafsu dan unjuk kekuasaan. Tentu dalam hal ini menurut saya pada kenyataannya perempuanlah yang dikorbankan atau dirugikan. Maksudnya perempuan ada pada posisi yang lemah dan hanya sebagai objek nafsu. Namun pada beberapa kasus poligami, ada juga perempuan yang “senang” dan juga katanya “ikhlas”.

Setahu saya Islam membolehkan (jika ditafsirkan demikian) seorang Muslim melakukan praktek poligami bukan ditujukan sebagai sarana memuaskan hawa nafsu, tetapi ada tujuan-tujuan kemanusiaan dan membangun moralitas masyarakat. Jadi seyogyanya poligami merupakan solusi syariat untuk memelihara akhlak manusia agar tidak jatuh pada kehidupan yang asusila. Walau pun tidak menjamin juga sih, bisa saja sudah berpoligami tapi tetap “jajan” pula diam-diam.

Islam datang, memberikan peraturan yang manusiawi, serta memposisikan perempuan pada derajat yang mulia. Ditinjau dari fiqih, atau dalil-dalil yang mendasari, penulis disatu sisi setuju poligami sebagai salah satu cara untuk melindungi kaum perempuan dalam mempertahankan hak-haknya, serta mengangkat derajatnya. Sekali lagi ini hanya menurut fiqih loh, kita tentu sependapat bahwa menghadapi persoalan tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang saja, mengingat terdapat berbagai aspek kehidupan—kalau kita mau bersikap arif.

Pada kesempatan ini saya ingin berbagi pemikiran yang muncul dari pengalaman membantu beberapa teman yang curhat kepada saya—lagi-lagi tentang perselingkuhan yang di antaranya ada yang kemudian diakhiri dengan poligami. Dari pengalaman itu saya memandang poligami sebagai suatu kasus sosial, fenomenologis dan psikologis, yang sifatnya sangat personal. Bagaimana pun juga poligami adalah suatu realita kehidupan yang bisa saja, mau tidak mau, terjadi dan memang ada bahkan dinikmati sekaligus juga bagaikan duri dalam daging.

Berikut ini data yang saya dapatkan dari beberapa kasus, yang saya asumsikan sebagai suatu kenyataan dan “kebenaran” bagi mereka yang mengalaminya. Dari ungkapan mereka, saya mendapatkan banyak masukan yang merupakan informasi berharga—yang menuntut sikap empati saya sehingga lebih mudah mengerti dan memahami kondisi mereka. Berbagai alasan dikemukakan—ekonomi, psikologis dan keyakinan agama serta kesehatan terpaksa (katanya…) menjalankan kehidupan poligami. Misalnya ada contoh sebagai berikut:

Pertama, alasan Ekonomi (untuk kesejahteraan hidup): Seorang wanita tidak berpenghasilan sehingga bersedia menjadi istri ke 2 atau ke 3. Alih-alih bekerja keras menghidupi diri sendiri terlebih masih ada tanggungan orang tua dan anak. Demikian pula dengan istri pertama. Ia berpikir sekian kali untuk bercerai, karena bingung bagaimana mencari nafkah, maka ia rela dimadu. Kedua, alasan rasa aman psikologis; Sudah sangat jatuh cinta dan tergantung, tidak mampu hidup sendiri, merasa kesepian. Ketiga, alasan keyakinan yang dianut; Mengizinkan suami berpoligami, akan mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan. Ia percaya bahwa cara ini menunjukkan sikap berbakti pada suami dan patuh pada ajaran agamanya. Keempat, alasan Kesehatan; Karena sakit, tidak mampu melayani suami sehingga mengizinkan suami menikah.

Demikian juga bila tidak bisa memberikan keturunan karena kondisi fisiknya, maka ia mempersilahkan suami menikah lagi tanpa harus bercerai. Ada alasan lain lagi yang dirasa “aneh”, yaitu istri memilih berpoligami demi prestige, karena malu bercerai, mengingat suami seorang pejabat dan sudah dikenal keluarga yang rukun bahagia. Wah ada-ada saja … jadi saya pikir poligami terjadi karena ada kesepakatan … Entah sampai berapa lama ia mampu mempertahankan perkawinan demi nilai-nilai prestige.

Menurut pemahaman penulis, Islam sebenarnya hanya mengakui monogami sebagai bentuk perkawinan yang ideal. Seorang pria dapat menikahi istri lebih dari satu dengan beberapa persyaratan. Sebagai Negara hukum, di Indonesia hal ini diatur oleh undang-undang perkawinan (Kompilasi Hukum Perkawinan). Terlebih lagi Allah juga memiliki aturan seperti firman-Nya pada Surat An-Nisa/4 ayat 3:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Inilah satu-satunya ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang poligami. Namun sebenarnya ayat di atas berhubungan dengan kondisi sosial di tanah Arab pada saat itu, selain perbudakan, akibat dari peperangan, banyak janda dan anak yatim.

Pada Zaman modern dewasa ini, hendaknya sektor pendidikan harus lebih memperhatikan segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan dan pembinaan keluarga. Semua anak baik perempuan maupun laki-laki harus diberikan peluang untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya. Setiap anak harus memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat. Maka mereka betul-betul paham konsekuensi dan resiko dari setiap sikap yang mereka ambil.

Melalui pendidikan dan contoh dalam keluarga, sistim nilai-nilai agama dapat ditanamkan agar manusia memiliki kematangan rasional, emosional dan spiritual yang tinggi. Alih-alih melakukan poligami, saya menganjurkan agar perempuan mampu memberdayakan diri sendiri. Menggali potensi, melakukan aktualisasi diri melalui pendidikan, mengasah ketrampilan yang lebih produktif, hingga mampu menghasilkan income sendiri. Memperluas pengetahuan umum ditambah ilmu agama dan meningkatkan penghayatannya untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan akan ketergantungan kepada selain TUHAN Sang Sumber Energi.

Ayat-ayat suci Al-Qur‘an hendaknya dikaji secara mendalam agar dipahami menurut makna tekstual dan kontekstual, makna lahir dan makna batin. Renungkanlah, bukankah perempuan secara fitrah juga memiliki art of leadership. Bagaimana jika potensi ini diaktualisasikan kepada berbagai kegiatan sosial hingga ia mampu menolong orang banyak dan dirinya sendiri.

Dalam perspektif psikologi dikatakan bahwa dengan multi kecerdasan, orang lebih mudah fokus pada satu tujuan hidup manusia yang hakiki. Masih banyak yang dapat kita lakukan dalam hidup ini untuk mengisi kehidupan yang lebih bermakna ketimbang sibuk memikirkan kebutuhan “dari perut ke bawah”. Saya teringat, sufi terkenal Hazrat Inayat Khan mengatakan:

“Any study of psychology show that success and happiness in life are found in singleness of mind. To focus it self the mind takes a single direction and singleness of vision cannot fail to develop singleness of purpose. So It that the ideal of monogamy has been considered by the wise as no less sacred than religion”.



By: Rani A. Dewi

Selasa, 04 Mei 2010

PSIKOLOGI TRANSPERSONAL




Menurut psikologi sufi, ada 3 konsep dasar tentang manusia yaitu Hati, Diri dan Jiwa. Artinya dapat juga dikatakan – hati, diri dan jiwa adalah 3 komponen yang sesungguhnya yang menyatu dalam diri manusia yang menunjukkan kesempurnaan sekaligus kemuliaan seorang makhluk Tuhan, yang disebut manusia. Kesatuan hati, diri dan jiwa menjadi suatu kekuatan, merupakan energi yang mendorong segala perilaku, perbuatan.

Untuk memahami lebih dalam, mari kita perinci satu persatu apa makna esoterik dari ketiga komponen tersebut di atas.


HATI

HATI yang dimaksud dalam psikolog sufi adalah hati yang bersifat spiritual, misalnya: “hati yang bersih”, “Hati yang ikhlas”, “Mendengarkan dengan hati”.
Hati menyimpan kecerdasan dan kearifan yang mendalam. Ia lokus makrifat, Gnosis atau pengetahuan spiritual. Para sufi senantiasa berupaya menumbuhkan hati yang lembut dan penuh kasih sayang sehingga hati menjadi cerdas dan peka terhadap berbagai tanda-tanda alam. Konon katanya diyakini pula jika mata hati (mata batin) tajam, maka kita mampu melihat melampaui yang nampak dari pada hanya dengan kasat mata atau mata lahiriah kita – orang awam sering menyebutnya dengan intuisi. Kita mampu “menembus” di balik yang terlihat dan mampu “mendengar” di balik yang terdengar.

Hati yang merupakan “rumah cinta”, sebenarnya menyimpan ruh ilahiah yang mendasari sikap memperlakukan setiap orang dengan kebaikan dan penghormatan – sehingga dapat mewujudkan hubungan kemanusiaan yang mulia.


DIRI

Dalam psikologi sufi, DIRI disebut juga “Nafs” atau The Self dalam isu-isu psikologi kontemporer. Diri adalah aspek psikis yang pertama bahkan utama yang menjadi musuh terburuk manusia.

“Sesungguhnya nafsu menyuruh kita kepada kejahatan kecuali nafsu yang telah dirahmati oleh Tuhanku” (Q.S. Yusuf (12) : 53).

Kualitas diri yang sangat rendah dikuasai oleh Nafs Tirani yaitu kekuatan dalam hati yang menjauhkan kita dari jalan spiritual. Kekuatan-kekuatan ini mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan yang dasyat dan mendorong kita untuk menyakiti orang lain bahkan yang kita cintai. Dalam psikologi sufi Nafs Tirani adalah akar dari distorsi pemikiran dan pemahaman serta sumber bahaya yang terbesar bagi diri kita dan orang lain. Oleh karena itu dalam perjalanan spiritualnya manusia harus berupaya membersihkan diri dengan cara yang memadai dan efektif untuk mentransformasi nafs tirani menjadi nafs yang suci. Metodenya antara lain termasuk observasi diri, disiplin diri dan melihat diri sendiri dalam diri orang lain.


JIWA

Jiwa memiliki tujuh aspek atau dimensi yakni; Mineral, Nabati, Hewani, Pribadi, Insani, Jiwa Rahasi dan Maha Rahasia.

Ketujuh dimensi tersebut di atas ini mencerminkan tujuh tingkat kesadaran. Melalui pemahaman dan penghayatan tentang diri, tingkat kesadaran ini diharapkan dapat bekerja secara seimbang dan selaras apalagi mengungkapkan hati, diri dan jiwa sesungguhnya adalah “satu”. Oleh karenanya dalam mencapai pengetahuan tentang diri atau ma’rifatun nafs diperlukan sebuah pendekatan yang holistik pula, bukan pendekatan linear dan partial – hanya dengan cara-cara yang monolog – komunikasi searah dan sepihak tetapi harus merupakan dialog, komunikasi efektif mencakup perenungan-perenungan seperti muhasabah, tafakur tentang diri serta hubungannya dengan alam semesta dan Tuhan. Saya diajarkan oleh salah satu guru spiritual agar menggunakan tugas dan pengalaman hidup sebagai bagian dari perjalanan spiritual kita artinya kehidupan keseharian itu sendiri menjadi praktek spiritual yang sangat dalam. Beliau mengatakan:
“sibukkan tanganmu dengan tugas-tugas duniawi dan sibukkan hatimu dengan Allah, kemudian integrasikan keduanya untuk mendapatkan makna yang hakiki”.

Seorang guru spiritual lain menyampaikan:
“Ketahuilah bahwa jalan menuju kebenaran ada di dalam dirimu sendiri”.
Proses pengenalan diri (ma’rifatun nafs) merupakan “proses selamanya” – atau “perjalanan seumur hidup” yang tak pernah berhenti. Karena perjalanan mengenal diri sama dengan perjalanan menuju pengetahuan tentang Tuhan – sang Khalik. Dan pengetahuaan tentang Tuhan adalah pengetahuan tak terbatas, tak terjangkau oleh pengetahuan yang terbatas tentang diri kita.

Di dalam psikologi transpersonal dikaji bahwa diri kita sesungguhnya adalah Roh (energi) yang telah menyatu dengan tubuh dan menyandang sifat cinta, kearifan dan kegembiraan.

7 Tingkat Kualitas Jiwa menurut Psikologi Transpersonal (tradisi sufi:

1. Jiwa Mineral
2. Jiwa Nabati
3. Jiwa Hewani
4. Jiwa Pribadi
5. Jiwa Insani
6. Jiwa Rahasia
7. Jiwa Maha Rahasia (sirr)

Tiap jiwa memiliki potensi yang berharga. Perkembangan spiritual yang sejati berarti perkembangan setiap jiwa secara seimbang, menyeluruh dan utuh.

Seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa ada metode khusus yang lebih bersifat holistik untuk mengenal diri sejati seperti observasi diri, tafakur dan lain-lain.

Kegiatan pelatihan dan konseling terdiri dari serangkaian kegiatan yang saya susun sedemikian rupa dalam rangka membantu kita “mengenal diri”. Saya, pribadi secara jujur ingin mengembalikan segala upaya ini terpulang kepada setiap individu, kepada pribadi anda sendiri – dan Ridho Allah SWT.


By: Rani A. Dewi

SEKILAS TENTANG "MENJADI MANUSIA HOLISTIK"




Manusia merupakan puncak kreativitas Tuhan yang tidak akan pernah habis dibahas dan dikaji, selalu saja menarik untuk dijadikan obyek studi. Bagaimana tidak, seluruh aspek kehidupan berkaitan dengan eksistensi manusia. Penulis yakin manusia tidak akan pernah berhenti mempertanyakan masalah eksistensi dirinya seraya memperjuangkan kebahagiaan, mencari kebenaran, dan menegakkan keadilan.

Segala temuan dan teori yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia menjadi rujukan tindakan manusia, khususnya di abad modern sekarang ini. Salah satu contohnya adalah pandangan Psikologi Humanistik yang sangat menjunjung nilai-nilai martabat manusia. Abraham Maslow sebagai salah seorang pendiri madzhab ketiga psikologi tersebut kemudian mengangkat nilai-nilai luhur kemartabatan manusia dengan mengemukakan teori jenjang kebutuhan pokok manusia. Maslow berpandangan bahwa manusia hendaknya berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut sampai pada tingkat kebutuhan yang tertinggi yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, sebab menurut Maslow hanya orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya yang dapat meraih kebahagiaan.

Sedangkan di dalam tradisi Islam klasik diungkapkan tentang para Sufi, sekelompok orang yang sangat concern dengan kesucian jiwa. Mereka mengupayakan kesucian jiwanya dengan melalui kegiatan tazkiyyat al-nafs. Dahulu dalam kesejarahannya para Sufi dianggap sebagai orang-orang yang tidak mengutamakan ‘dunia’. Mereka menjalankan kehidupan asketis, tidak tergantung pada kesejahteraan fisik lahiriah dan materialisme serta menjauhkan diri dari masyarakat. Mereka hidup mengasingkan diri untuk berzikir kepada Allah. Menjalankan hidup ‘seadanya’ merupakan keseharian mereka. Menurut mereka kehidupan materialisme hanya akan membuatnya tergelincir dan menjauhkannya dari cinta kepada Allah. Di masa puncak kesuksesannya Imam al-Ghazali pernah menjalani kehidupan asketis beberapa tahun. Setelah itu dia kembali ke masyarakat menekuni profesi seperti sebelumnya dengan diwarnai sikap kesufian yang lebih menonjol.

Saya memiliki pemikiran bahwa teori kebutuhan pokok Maslow bukanlah hal yang sama sekali keliru, mengingat seluruh kehidupan ini adalah tanggungjawab manusia sehubungan dengan Tuhan sudah mempercayakan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Demikian pula penulis memiliki pandangan bahwa sikap hidup yang dijalankan oleh para Sufi bukanlah jalan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, karena esensi tasawuf bersumber dari Al-Qur‘ân dan Al-Hadîts. Bahkan tampaknya jalan hidup asketis merupakan jalan yang dapat membuat manusia senantiasa ‘sadar’. Pengetahuan siapa dirinya membawa manusia pada kesadaran yang tinggi akan kehadiran Tuhan di setiap langkahnya juga kesadaran akan gerak Tuhan di setiap manifestasi-Nya. Di zaman serba modern sekarang ini, manusia tidak harus menjalani hidup asketis untuk menjadi seorang sufi. Hakikat kesufian terletak pada kebersihan jiwa, karena bebas dari penyakit hati, tidak berlebihan dalam pemenuhan kebutuhan dan beribadah hanya karena Allah SWT semata.

Sekilas tampaknya pandangan tentang manusia dan jalan hidupnya yang dikemukakan oleh kedua madzhab tersebut di atas bagaikan bertolak belakang, namun bukankah sebenarnya nilai-nilai pada kedua pandangan di atas dapat di padukan sehingga melahirkan sikap hidup yang holistik. Allah SWT tidak melarang manusia memenuhi kebutuhan duniawinya bahkan dianjurkan berusaha mencapainya untuk tujuan hidupnya. Namun di sisi lain Allah juga tidak ingin dilupakan atau manusia sampai tega menduakan-Nya. Allah Maha Pencemburu di samping Maha Pemberi. Dia meminta manusia hanya memikirkan tentang kebesaran-Nya, karena dengan demikian manusia akan memiliki ‘God Consciousness’.

Adapun wacana yang berkembang selama ini, adalah tentang suatu ilmu yang banyak menyinggung masalah eksistensi manusia dan mampu berdamai dengan diri mereka sendiri yang oleh para orientalis dinamakan Sufisme atau Tasawuf. Landasan Ilmu Tasawuf adalah Al-Qur‘ân dan Hadîts Nabi yang sudah sangat diyakini oleh umat Islam sebagai rujukan utama, sumber pengetahuan dan pedoman hidup. Al-Qur‘ân yang berisi ajaran Tuhan merupakan wahyu yang diturunkan kepada Rasûlullah S.A.W., bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali. Al-Qur‘ân mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebajikan atau pun petunjuk bagaimana seharusnya manusia ‘menjadi’, bagaimana menjadi manusia yang ‘bahagia dan eling’ sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah S.W.T juga. Sebab Bahagia bagi kaum beriman seharusnya tidak berhenti pada dimensi fisik seperti dunia ini, tetapi juga merasuk ke dalam batin yang merupakan cita-cita hingga akhir hayatnya dan dibawanya sampai ‘kehidupan nanti’.

Sementara di dalam Hadîts Qudsî dikatakan: “AKU pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian AKU ingin dikenal, maka Ku-ciptakanlah makhluk dan melalui AKU mereka pun kenal pada-Ku”. Hadîts ini mengandung makna yang sangat dalam dan memberi inspirasi kepada saya bahwa Allah menyampaikan pesan agar manusia mengenal-NYA dan semua makhluk ciptaan-NYA merupakan manifestasi dari DIRINYA.

Mengenal diri merupakan salah satu pokok kajian dalam Ilmu Tasawuf. Dalam bahasa Arab, mengenal diri disebut ‘ma’rifatun-nafs’ (ma’rifat al-nafs). Ma’rifat al-nafs yang dimaksud adalah pengetahuan tentang diri sejati, hakikat manusia bukan sekedar mengkaji bagian fisik lahiriah kita yang kasat mata, bukan pula pengetahuan tentang keturunan atau kehidupan mencari materi yang serba terbatas, tetapi jauh di balik itu semua. Fenomena manusia penuh misteri, yang sejak dahulu tidak pernah tuntas para ilmuwan menjawabnya. Oleh karenanya, setelah menelaah berbagai peristiwa kehidupan dan sumber tersebut di atas, sepertinya terdapat hubungan antara usaha mengenal diri dengan proses pengembangan pribadi.

Pentingnya ma’rifat tentang diri (kenal diri), sangat perlu ditekankan dalam hubungannya dengan pengembangan pribadi. Rasûlullah S.A.W dalam Hadîtsnya menasihati umatnya, yang berbunyi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, telah mengenal Tuhannya [Rabb-nya]). Hadîts ini oleh para Sufi dijadikan landasan untuk mencari pengetahuan tentang hakikat diri sebagai jalan yang menuju kepada pengetahuan tentang Tuhan. Hadîts ini juga menyiratkan bahwa: “Pengenalan diri berkaitan dengan pengetahuan tentang Tuhan pula, artinya orang yang ‘lupa diri’ tidak akan mengenal Tuhannya dan sebaliknya”. Merujuk Hadîts tersebut di atas, nampaknya pengetahuan tentang diri sendiri merupakan pengetahuan yang paling bermanfaat, karena pengetahuan tentang diri akan mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang Tuhan berikut segala aspek yang berkaitan dengan-Nya. Imam Alî r.a menguatkan bahwa: “Bilamana pengetahuan seseorang bertambah, maka perhatiannya kepada jiwanya pun juga bertambah, dan dia berusaha sekuatnya untuk melatih dan menyucikannya”. Secara tersirat pernyataan Imam Ali r.a tersebut memberikan pesan tentang pengembangan pribadi, artinya ketika seorang mulai mengenal dirinya, maka ia akan terdorong untuk terus memperbaikinya pula. Jadi, pengembangan pribadi merupakan proses mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri yang berbuah pada kematangan jiwa.

Terlepas dari berbagai potensi manusia, pembicaraan mengenal diri atau pengenalan diri terkait pula dengan faktor kebutuhan manusia, karena selama hidupnya manusia mustahil lepas dari faktor kebutuhan. Maslow mengangkat masalah kebutuhan manusia, yang menurut pemikirannya berjenjang, yakni yang dikenal dengan ‘Hirarki Kebutuhan Dasar’. Kebutuhan manusia yang berjenjang ini terdapat pada setiap individu dengan kadar yang berbeda satu sama lain.

Maslow dalam bukunya Toward a Psychology of Being (1968: 324), mengungkapkan tentang proses tahapan kebutuhan yang dirancangnya sebagai berikut: “If lower needs are satisfied, there is a natural tendency to move upward to meet the next level of needs, if lower needs are not satisfied there is a natural tendency to return to these levels until the needs are met”.

Demikian mengenal diri dalam kerangka Psikologi Humanistik, sebagai upaya memahami manusia, yang terdiri dari dua dimensi, yakni dimensi fisik yang dapat diamati oleh panca-indra dan dimensi non-fisik yang tidak dapat diamati oleh panca-indra, namun bisa dirasakan intuisi. Psikologi Humanistik berpandangan manusia mempunyai modal untuk menciptakan dunianya sesuai dengan keinginan, karena manusia memiliki kebebasan berkehendak. Kehendak yang timbul dalam diri manusia ditunjang oleh berbagai kebutuhan yang berjenjang. Berbagai kebutuhan itu bersifat inheren dan fitrah. Hirarki kebutuhan manusia itu dijelaskan oleh Maslow dalam teorinya: A Theory of Human Motivation. Sehubungan dengan teori tersebut manusia ditempatkan pada posisi yang tinggi dan bermartabat. Namun manusia cenderung berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhannya itu. Hal ini disebutkan pula di dalam Al-Qur‘an:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan TuhanMu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesunguhnya hanya kepada TuhanMu-lah kembalimu” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-8).

Ayat Al-‘Alaq tersebut di atas seolah-olah menyampaikan pesan, pertama; mengingatkan manusia akan asal-usul kejadiannya yaitu dari segumpal darah. Kedua, memberitahukan tentang kelebihan manusia yaitu diberikan ilmu. Ketiga, menggugah kesadaran akan kemungkinan munculnya masalah serius yaitu sikap melampaui batas, di mana ia merasa dirinya serba cukup, sehingga bisa jadi kemudian ia tidak lagi melihat kebenaran dan membutuhkan Tuhan.

Di dalam Al-Qur‘an ditemukan 3 istilah untuk menyebutkan manusia, yaitu pertama; ‘Al-Basyar’ yang artinya anak turun Adam, yakni makhluk fisik yang memiliki kebutuhan makan dan hiburan. Kedua, ‘Al-Nas’ dalam Al-Qur’an di antaranya dengan tegas menunjukkan pesan bagi keseluruhan makhluk hidup secara mutlak. Ketiga, ‘Al-Ins’ mengandung makna sisi kemanusiaan yang “tidak liar” atau “tidak biadab”. Dengan sifat kemanusiaan itu manusia berbeda dengan jenis-jenis makhluk lain termasuk “jin”.

Singkatnya analisa terhadap kedua pandangan tersebut di atas menghasilkan beberapa kesimpulan di antaranya adalah pertama, manusia hendaknya mengenal dirinya dalam arti harus mencari pengetahuan tentang hakikat dirinya. Kedua, manusia harus mengembangkan dan mengaktualkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya dengan diwarnai oleh nilai-nilai spiritual yang berpijak pada tujuan-tujuan luhur dan universal. Ketiga, manusia memerlukan suatu cara yang efektif untuk mendapatkan pengetahuan tentang dirinya dan pengembangan pribadi yang lebih holistik, yaitu memadukan pengembangan pribadi model Psikologi Humanistik (Abraham Maslow) dan pengembangan pribadi metode Sufistik (tazkiyyat al-nafs).

Mengaktualisasikan diri dan mensucikan jiwa bagi penulis tidak saja sekedar untuk mewujudkan potensi insaniah yang lahiriah dan batiniah, namun jauh lebih dari itu yakni mengadanya kesadaran tinggi akan kehadiran Sang Maha Pemberi potensi-potensi itu di dalam diri. Sehingga pengembangan pribadi holistik yang dimaksud penulis adalah suatu proses menjadi manusia yang pengembangan pribadinya utuh, atau dapat disebut juga suatu proses menjadi manusia holistik, manusia yang berkepribadian humanis dan sufistik.

By: Rani A. Dewi

Senin, 03 Mei 2010

KEPRIBADIAN (PSIKOLOGI AL-QUR’AN)


Selama ini kepribadian atau personality, kita ketahui dalam wacana psikologi modern, atau psikologi Barat atau disebut juga psikologi kontemporer. Ke empat mazhab psikologi, eksistensialis, behaviorisme, dan psikoanalisa serta psikologi humanistik menjelaskan teori kepribadian yang berbeda satu sama lain. Kendati berbeda pandangan, namun mereka sama-sama mengandalkan panca-indra untuk mengamati, mengevaluasi, dan menentukan tipe kepribadian seseorang.

Psikologi (ilmu tentang jiwa) ternyata tidaklah benar-benar ilmu yang berbicara tentang jiwa bahkan cenderung menafikan pembicaraan jiwa. Menurut mereka jiwa adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dibuktikan dengan data empiris, sekali pun mereka tahu ada sumber kekuatan dibalik yang nampak melalui perilaku atau perbuatan seseorang. Sebagai contoh kita melihat seseorang yang berulang kali makan. Lalu kita dapat menyatakan dia sangat lapar karena dia makan. Padahal mungkin belum tentu dia lapar, siapa tahu dia sedang stress atau memang hobinya makan. Contoh lain kita melihat seseorang yang tidak tersenyum kepada kita ketika berjumpa, lalu mungkin kita akan katakan dia sombong, pemurung, tidak ramah atau sudah lupa kepada kita. Padahal siapa tahu dia sedang sakit gigi, tidak sehat, banyak pikiran, sedang gundah dan lain-lain.

Demikian pula seseorang yang nampaknya periang, mudah tertawa, tetapi ternyata dia sedang menutupi kesedihannya, kegundahannya. Dia sedang menghibur dirinya sendiri. Boleh jadi ia ingin dinilai tampak seorang yang tegar dan ramah, sehingga ia berusaha untuk tampil riang.

Begitulah kita kira, secara tak sadar kerap terpengaruh oleh “tampak luar” (exterior), sehingga seseorang di dalam lingkungannya cenderung berusaha untuk tetap menjaga image (jaim) agar senantiasa dapat diterima atau diakui oleh orang lain. Tidak jarang akhirnya kita merasa terbebani dengan penilaian-penilaian kita sendiri. Bagaimana tidak, kita tampil dengan tidak menampilkan diri kita yang sesungguhnya (The true self).

Carl Gustaf Yung, seorang tokoh psikologi transpersonal mengungkapkan pandangannya bahwa manusia adalah “spiritual being who seek experiences as a human being”.
“Diri” dalam psikologi berkaitan dengan kepribadian atau personality. Personality berasal dari kata persona, yang berarti topeng. Nah, ada berapa topeng yang kita miliki? Dalam kehidupan kita tidak lepas dari topeng-topeng peran (peran sosial). Tidak jarang pula topeng yang satu menutupi topeng yang lain, dan kita dapat menjadi topeng-topeng itu semau kita sesuai dengan keperluan dan tujuannya. Itu berarti kita tidak pernah tahu kepribadian seseorang yang sebenar-benarnya kan? Bahkan kita pun tidak mengenal diri kita yang sejati.

Dalam masa pertumbuhannya kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, atau pun pendidikan. Kepribadian menurut saya merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali, ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Tidak seperti psikologi modern yang memiliki berbagai pandangan atau teori kepribadian, di dalam al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya misalnya melalui surat al-Baqarah/2 ayat 1-20, banyak menggambarkan kepribadian yang baik dan yang tidak baik, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir dan kepribadian orang munafik. Pada surat-surat lainnya yaitu surat Shaad/38: 71-72, surat al-Hijr/15: 28-29, al-Qashash/28: 77 dan masih banyak lainnya.
Berikut ini sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam surat tersebut.

a) Kepribadian Orang Beriman (Mukmin)

Dikatakan beriman bila ia percaya pada Rukun Iman yang terdiri dari: iman pada Allah S.W.T, iman pada malaikat-Nya, iman pada Kitab-Nya, iman pada Rasûl-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Tuhan (qadar/ taqdîr). Rasa percaya yang kuat terhadap Rukun Iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktifitasnya. Dengan nilai-nilai itu individu seyogyanya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian ini memiliki ciri-ciri antara lain:

* Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan,
* Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia,
* Senang menuntut ilmu,
* Sabar,
* dan jujur.

Pendeknya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (2005: 89), mengatakan; “Orang beriman adalah orang yang bertakwa, artinya orang yang menghindar”.

b) Tipe Kepribadian Orang Kafir (Kafirûn)

Ciri-ciri orang kafir antara lain:

* Suka putus asa,
* Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
* Tidak percaya pada Rukun Iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam,
* Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim,
* Mereka sering tidak setia kepada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman,
* Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan materialistis. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga seringkali berakibat ketidak-seimbangan pada kepribadian,
* Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan.

c) Kepribadian Orang Munafik (Munafiqûn)

Sifat atau watak orang munafik, antara lain:

* Mereka ‘lupa’ dan menuhankan selain Allah S.W.T,
* Dalam berbicara mereka suka berdusta,
* Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran,
* Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
* Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.



Dengan demikian umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad diutus ke bumi untuk memainkan peran sebagai model Insan Kamil bagi umat manusia.

Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan. Namun lebih dalam lagi kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs) kita yang saling berhubungan. Atau dapat dikatakan pula kepribadian seseorang berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs). Menurut Robert Frager terdapat tujuh tingkatan jiwa, yaitu:

1. Nafs Ammarah (Tirani)
Seperti: angger, lowest self, childish, egoistic, selfish, concern with self, pleasure principle atau singkatnya memiliki sifat jealous.
J – udjmental
E – agle eyed
A – ngry
L – onely (feeling rejected)
O – ver sensitive
U – nforgiving
S – cared (pencemas/ takut berlebihan).

2. Nafs Lawwamah (Penuh penyesalan)
Sudah tahu kebenaran, tetapi masih melakukan kesalahan dan kemudian menyesalinya. Self image oriented, building self impression and justification.

3. Nafs Mulhamah (Terilhami)
Menyesali perbuatan yang salah atau tidak terpuji, tetapi kemudian ada usaha untuk memperbaiki dan memulai mengilhami hatinya dengan nilai-nilai baru serta menginspirasi orang lain. Tetapi seseorang yang pada tingkat ini juga rentan terhadap godaan-godaan dari luar terutama tentang agama atau keyakinan. Ada kecenderungan meninggalkan dunia untuk cinta Allah, merasa dirinya besar, suci, orang pilihan Tuhan.

4. Nafs Muth’mainnah (Tentram)

* Penuh keyakinan terhadap Tuhan.
* Perilaku indah.
* Mengalami kenikmatan.
* Penuh rasa syukur dan kepuasan hati.
* Pengendalian ego yang baik.


5. Nafs Radhiyah (Ridha)
Jiwa yang selalu ridha/ ikhlas, ketulusan, sangat hati-hati, memperhatikan adab, kesederhanaan.

6. Nafs Mardhiyah (Yang diridhai Tuhan)
Sudah tidak ada angger and negative thought in everything.

7. Nafs Al-Kamilah (Suci)
The ultimate stations, perfection, pure being ness.

Menurut ilmu tasawuf terdapat cara-cara yang dilakukan para Sufi untuk mensucikan jiwa. Cara-cara ini merupakan serangkaian pengamalan ibadah yang harus dilakukan dengan istiqamah. Sesuai dengan pengalaman mereka, pengalaman tersebut memungkinkan terjadinya transformasi jiwa, dari jiwa yang rendah ke jiwa yang lebih tinggi, begitu seterusnya sampai pada tahap jiwa yang tertinggi. Selain itu para sufi memilki tradisi khalwat, yakni menghindar kehidupan rutin duniawi untuk sementara dengan tujuan latihan melepaskan diri dari hal hal yang selain Allah.

Apa yang kita sebut kepribadian adalah bagian dari “diri” kita, tidaklah tercipta sia-sia, diri kita memiliki sejarah—kisah tiada akhir sejak Nabi Adam. Kepribadian bagian dari “diri”ku ini mungkin berubah-ubah setiap saat, tetapi DIRI SEJATI, Sang “AKU” tetap dan tidak dapat berubah, tidak terikat ruang dan waktu serta kekal abadi. Aku kerap mengalami kerinduan yang mendalam bertemu dengan AKU, demikian AKU merindukan aku. Namun aku terhijab, tidak mampu menemukan jati diri—tertutup—buram oleh dosa-dosa kemaksiatan—terlena pada keindahan selain AKU—Sumber kearifan yang mengilhami aku, sumber cinta yang menyembuhkan dan menenteramkan jiwaku.


By: Rani A. Dewi

SELF KNOWLEDGE


Diri yang sejati, bukan diri yang semu, yaitu seorang hamba Tuhan yang kenal dan paham tentang dirinya secara utuh yang dapat mengembangkan dimensi lahiriahnya dan dimensi batiniahnya. Dimensi lahiriah yang mampu memberdayakan aspek agentiknya dan dimensi batiniah dengan aspek komunalnya.

Sebagian contoh cir-ciri Agentik:
· Menggunakan Logika
· Mengejar Prestasi
· Mengutamakan Target
· Merasa Kompeten

Sebagian contoh ciri-ciri Komunal:
· Ada Keterikatan Emosi
· Mendahulukan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan diri sendiri
· Bahagia bila melayani orang lain
· Patuh, penurut pada peraturan.

Dalam perspektif psikologi transpersonal, ciri-ciri Agentik disebut sikap MASKULIN, sedangkan ciri-ciri Komunal disebut sikap FEMININ. Seorang yang dapat memberdayakan dan mengembangkan kedua sikap di atas secara seimbang dapat menjadikannya memiliki sifat asuh, asah dan asih, itu berarti Ia telah memuliakan dirinya sendiri sesuai dengan fitrahnya, orang yang memuliakan dirinya sudah tentu Ia memiliki kehormatan diri (Self Esteem).

Manusia itu Unik tidak ada yang sama, satu dan yang lainnya, sekalipun anak kembar. Manusia senang memperhatikan, memikirkan dan mempersalahkan hal-hal di luar dirinya.
Ia pun mampu mengamati dirinya sendiri. Namun bagaimana dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, apakah Ia pernah merenungkan “siapa saya”, “mau apa saya di sini”, “kenapa saya begini”, “apa tujuan hidup saya”, dan lain-lain.

Dalam beberapa literatur, ditemukan bahwa ada beberapa manfaat dari mengenal diri.

1. Mengetahui kemampuan diri dan keterbatasannya, sehingga Ia dapat menghindari kesombongan egosentris dan kurangnya penilaian diri yang dapat menimbulkan emosi-emosi negatif, misal: putus asa dan cemas berlebihan.

2. Dapat menyadari nila-nilai intrinsiknya dan kehampaan nilai hawa nafsunya sendiri.

3. Memahami bahwa seseorang terdiri dari dua bagian jiwa dan raga, yang lahir dan Bathin, dimana jiwa sangat bahkan lebih penting mendapatkan kepedulian kita. Hendaknya kita senantiasa ingat bahwa kita harus memperhatikan semua pikiran, kata-kata, perbuatan kita karena hal-hal tersebut berpengauh pada kesehatan jiwa.

4. Memahami bahwa manusia bukanlah sekedar suatu produk kebetulan, melainkan setiap orang tercipta untuk suatu tujuan dan konsekuensinya. Maka dari itu, kita harus menemukan misinya, dan mengorientasikan hidupnya sesuai dengan yang diharapkan Allah pada perjanjian Primordial.

5. Mengenal diri mengantarkan kepada suatu penilaian yang lebih mendalam tentang peran kesadaran dalam perbaikan diri – serta menyingkirkan sikap-sikap zalim baik terhadap diri sendiri apalagi terhadap orang lain.

Mengenal diri sangat penting dalam manapaki kehidupan ini. Bagaimana seorang meyakini dan mengalami hidupnya tergantung pada sejauh mana dan bagaimana Ia mengenal dirinya.

Mengenal diri adalah sebuah perjalanan panjang yang tak kenal batas, karena hal itu merupakan proses selama hayat dikandung badan dan tak satupun manusia yang tahu kapan Ia harus berhenti mengenal diri. Namun sangat perlu diketahui lebih jauh apa kata Nabi Muhammad SAW:

“Siapa Yang mengenal dirinya, Ia akan Mengenal Tuhannya”.

By: Rani A. Dewi

MENINGKATKAN KECERDASAN SPIRITUAL MELALUI “PERAN IBU”



Akhir-akhir ini di masyarakat ramai berkembang isu-isu berbagai kecerdasan. Salah satunya adalah Kecerdasan spiritual. Saya sebenarnya lebih setuju bila dipakai kata Kematangan ketimbang Kecerdasan, alasannya kata yang pertama lebih umum dibandingkan dengan kata yang kedua. Mungkin lebih mudah dimengerti oleh orang awam. Tetapi apakah sebenarnya Kematangan Spiritual itu? Berkaitan dengan agamakah atau tidak? Saya ingin mengajak anda memahami, walaupun melalui tulisan yang sederhana ini. Berkaitan dengan pendidikan di dalam keluarga, saya akan mengemukakan betapa pentingnya peran seorang ibu dalam menanamkan nilai-nilai spiritual.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan seseorang mentransendensikan diri dalam situasi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan sekaligus juga dapat memaknai setiap peristiwa yang dialami dalam hidupnya. Kecerdasan Spiritual, kata mereka lagi, merupakan “The Ultimate Intelegence” sesudah kecerdasan Intelektual dan Emosional dimiliki seseorang.

Kematangan Intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan mempergunakan Nalar – Logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistimatis dan efisien berdasarkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
Sedangkan Kematangan Emosional ialah orang yang mampu menselaraskan nalar dan nafsunya – dapat mengendalikan diri serta memiliki daya juang yang tinggi dengan tetap memperhatikan etika hubungan interpersonal.

Saya pribadi berpendapat sederhana saja yakni Kematangan Spiritual adalah suatu sikap arif yang dimiliki seseorang setelah ia memahami pengetahuan tentang dirinya. Itu berarti Ia sangat mengenal apa dan siapa dirinya. Suatu ajaran dalam sufisme diyakini bahwa siapa mengenal dirinya, Ia mengenal Tuhannya. Dengan demikian ia lebih “sadar” sehingga lebih berhati-hati dalam menjalani hidupnya.
Adapun ciri-ciri orang yang memiliki kematangan spiritual menurut pengalaman, pengamantan saya adalah antara lain:

- Berpandangan/ bersikap flexible
- Memiliki pengetahuan tentang dirinya (mengenal diri)
- Mampu memaknai peristiwa yang terjadi
- Memiliki visi dan misi hidup
- Berpikir secara holistik dan global
- Mementingkan kebahagian bersama.

Memiliki kematangan spiritual lebih dari kematangan pengetahuan keberagaman. Kematangan spiritual bermakna lebih luas dan dalam.

Seorang ibu mempunyai andil yang sangat besar dalam menumbuhkan kematangan spiritual pada anak-anaknya sebagai generasi masa depan. Sulit dipungkiri bahwa di belakang seorang anak yang berprestasi ada seorang ibu yang bijak seperti juga di belakang seorang suami yang sukses ada seorang istri yang arif. Secara luas baik sebagai ibu maupun sebagai isteri – ia adalah seorang yang dapat “bersikap keibuan” dengan kematangan spiritual yang tinggi yang tentunya ditunjang juga oleh kematangan intelektual dan emosionalnya. Ia adalah seorang yang mempunyai ciri-ciri seperti diuraikan tersebut di atas.

Lalu bagaimana caranya memiliki kematangan spiritual? Tentu ada beberapa upaya, tetapi tidak mungkin dibicarakan dalam waktu yang sesingkat ini. Karena tidak sesederhana itu. Selain melalui Transfer of Knowledge juga ada Transfer of Knowhow yang diberikan dengan menggunakan “metode mengalami” dalam serangkaian kegiatan Pelatihan dan konseling.

Salah satu upaya yang harus dilakukan ialah membersihkan penyakit hati kemudian membebaskan jiwa dari belenggu – nilai-nilai budaya atau keyakinan yang memaksa dan menimbulkan rasa tertekan. Secara psikologis, perasaan tertekan atau terbebani akan berakibat munculnya psikosomatik atau dapat juga muncul sikap-sikap agresif yang tak terkendali bisa juga sikap pasif yang membuat dirinya menderita.
Secara tidak sadar orang ini telah mendzolimi dirinya sendiri dan akhirnya dapat mendzolimi orang lain serta merugikan lingkungan yang hidup di sekitarnya.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Kematangan Spiritual – pendapat saya pribadi adalah sikap arif yang dimiliki seseorang setelah ia memahami pengetahuan tentang dirinya. Untuk memahami pengetahuan itu diperlukan waktu yang tak terbatas dan proses yang panjang bahkan seumur hidup. Mengapa demikian? Karena manusia bersifat unik, penuh misteri, suatu fenomena. Tak satupun orang yang dapat menguasai ilmu Allah yang Maha Berilmu. Namun secara subtansi, manusia adalah mahluk paling sempurna di antara semua ciptaan-Nya.

Oleh karenanya Allah SWT sungguh memuliakan manusia ketika ia menjaga akhlaknya dan akan merendahkannya ketika manusia tidak beramal soleh dan memelihara martabatnya. Sikap berakhlak mulia inilah yang seharusnya ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya. Terutama oleh para ibu yang menjadi madrasah utama dalam pendidikan keluarga.

Tapi masalahnya sekarang adalah apakah setiap ibu siap menjadi madrasah utama sesuai dengan yang diharapkan oleh cita-citanya sendiri. Seringkali seorang ibu itu belum selesai dengan konflik pribadinya sendiri – masalah yang berhubungan dengan masa lalunya sampai saat “Peran Ibu” itu datang begitu saja.

Apa jadinya ketika “Peran Ibu” dijalankan dengan sikap-sikap relatif, agresif, diwarnai oleh penyakit hati – mungkinkah kelak menghasilkan anak-anak yang cerdas intelektual, emosional dan spiritual? Terus terang saya ragu, sebab sebagian besar kepribadian seseorang ditentukan oleh pola asuh, ditambah juga dengan sistim pendidikan formal yang penuh dengan target-target kurikulum yang membebani anak.

Sebagai langkah awal, praktis dan sederhana ada bimbingan untuk memiliki kebebasan jiwa dari belenggu dosa penyakit hati, yaitu sebagai berikut:

1. Be Impeccable with your word (Bahasa yang baik):
Hati-hatilah dengan ucapan anda
Periksa kata-kata, sebab katak-kata berupa doa juga. Bahasa mengandung kekuatan magnet. Seiring apa yang diucapkan bisa terjadi begitu saja.

2. Don’t Take anything Personally (Jangan menganggap serius pribadi anda):
Lihatlah orang lain apa adanya. Tanpa kita sadari kita sering menuntut orang lain dan menyalahi diri sendiri. Kita merasa benar karenanya orang lain harus seperti kita. Atau kemudian kita terpengaruh oleh nilai-nilai orang lain yang sebenarnya tidak cocok untuk kondisi kita.

3. Don’t Make Assumption (Jangan membuar asumsi):
Komunikasikanlah secara jelas apa yang ada di dalam benak anda. Kita tidak dapat mengharap orang lain selalu mengerti apa yang kita mau. Jangan mencoba menduga-duga pikiran orang lain. Lebih baik bertanya dan kumpulkan informasi.

4. Always Do Your Best (Lakukan yang terbaik):
Apa-apa yang terbaik dari diri anda senantiasa berubah setiap saat. Namun janganlah berbuat melebihi yang anda mampu. Manusia sudah sempurna sesuai dengan kapasitasnya, hargai diri dan energi anda. Dan lakukan pekerjaan karena anda ingin melakukannya demi ibadah bukan karena ingin mendapat imbalan bahkan pujian orang lain.

Sekilas memang kelihatannya mudah, biasanya sulit ketika dilakukan. “Ah itu kan teori…” begitu kata iklan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya yang konsisten mengkaji terus pengetahuan tentang diri melalui suatu metode experensial dalam pelatihan dan konseling.

Begitu seseorang mengalami “pencerahan” maka semua menjadi mudah, tubuh terasa ringan, hati bersih dan perasaan bahagia yang murni menyelimuti jiwa yang suci.

Sejalan dengan tujuan “peran ibu” menjadi madrasah utama, pendidikan keluarga Insya Alllah tercapai – karena sifat asuh, asah, asih mewarnai setiap perilaku dan perbuatannya sehari-hari.



By: Rani A. Dewi

AJARKAN AKU TENTANG CINTA


Kerap aku merasa kesepian di antara keramaian, aku galau seakan ada yang ingin kujangkau, tetapi tak mengerti. Ada perasaan rindu seperti kehilangan sesuatu, ingin mencari di manakah gerangan. Tetapi aku sendiri tak tahu apa yang kurindukan. Tak jarang juga hati menggebu-gebu bagaikan sedang jatuh cinta, tak ingin ditinggal oleh sang kekasih. Konon dalam kisah-kisah Sufi diceritakan: “Ketika engkau dalam kegelisahan yang tinggi, tetapi tidak tahu mengapa, maka itu berarti engkau sedang butuh Tuhan. Dan ketika engkau butuh Tuhan, Dia sedang menyatakan cinta-Nya kepadamu”. Di dalam Hadits Qudsi disebutkan: “Wahai anak Adam, Aku cinta kepadamu dan engkau pun mencintaiku”. Dari Hadits yang lain ditemukan juga bahwa Allah berfirman; “Hamba-Ku! Aku bersumpah demi kebenaran-Ku, bahwa Aku mencintaimu, maka cintailah Aku demi hak-Ku atasmu”.

Seorang Imam , bertanya kepada seorang guru muda yang bertemu di halaman kampus, “Apakah yang kau ajarkan pada murid-muridmu?”. Dia menjawab: “Saya mengajar ilmu logika, Imam”. Sang Imam pun tersenyum tanda setuju dan bangga. Lalu sang Imam menepuk halus bahu guru muda itu sambil berkata: “Wah itu bagus, tetapi apakah kamu mengajarkan tentang cinta? berilah mereka pelajaran cinta agar mencintai apa yang mereka pelajari sehingga tumbuh cinta yang hakiki”.

Dalam literatur Persia, dikisahkan Laron adalah lambang api cinta yang mengorbankan hidupnya demi sang kekasih. Seekor Laron berterbangan dekat lentera yang memancarkan cahayanya begitu terang hingga menerangi alam sekitar. Demikian asiknya Laron menari-nari mengitari lentera hingga tak terasa sayapnya menyinggung tubuh lentera yang panas membara, sang Laron kaget dan jatuh, tetapi ia terpukau dengan cahayanya, dan tiba-tiba merasa terdorong untuk terbang kembali walau pun harus dengan perjuangan yang kuat. Dengan usahanya yang keras akhirnya ia pun berhasil untuk menjangkau tubuh lentera. Namun kali ini ia lebih nekat bahkan ia terus menghampiri dan bahkan dengan sengaja menempelkan tubuhnya kepada tubuh lentera hingga ia benar-benar tak berdaya, lunglai, karena panasnya yang tak tertahankan. Sang Laron terjatuh dan nyawanya pergi terbang. Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah Laron dan lentera tersebut di atas? Sang Laron berkorban demi cintanya kepada cahaya yang memberikan kehangatan.

Prinsip dasar cinta pada Allah Yang Maha Kuasa adalah mengenal-Nya. Sangatlah tidak mungkin orang yang mengenal Tuhan tidak jatuh cinta pada-Nya. Rabiah al-Adawiah dari Bashrah tidak bergeming dengan panasnya neraka dan indahnya surga, baginya cinta Allah tak dapat dibandingkan dengan itu semua. Godaan syaitan pun tak kuasa merubah pendiriannya akan penghambaan kepada sang Kekasih. Cintanya yang tulus dan suci membawanya kepada cinta Ilahi dan melupakan tentang amal, pahala, surga dan neraka.

Pengetahuan apakah yang membawa kita kepada cinta Ilahi? Yaitu pengetahuan intuitif. Pengetahuan intuitif dapat diraih tidak dengan jalan lain, kecuali dengan mensucikan diri dari noda-noda perbuatan yang tak layak dari cermin hati. Jika perbuatan yang tidak menyenangkan dibuang dari hati, maka hati akan menyaksikan keindahan Sang Ilahi Yang Maha Indah dan Maha Agung, dan karenanya kita akan jatuh cinta kepada-Nya. “Keindahan sang kekasih tidak terhalang dan tertutup”. Singkirkan debu dari tubuhmu hingga engkau dapat melihat keindahan-Nya.” Hati harus melepaskan diri dari kecintaan terhadap dunia, karena cinta dunia adalah sumber kebodohan dan kesia-siaan.

Manusia tidak akan mencapai puncak kemanusiaannya jika dia tidak mengalihkan hatinya dari selain Allah, bahkan sekali pun ia berusaha keras meraih kesempurnaan diri dia tidak akan pernah mencapai tujuannya. Jika manusia mewaspadai hatinya dan tidak mengizinkan ada di dalamnya selain Allah, maka manusia akan dapat melihat sesuatu yang orang lain tidak melihat atau akan dapat mendengar yang orang lain tidak dengar. Jika manusia menjaga mata hatinya, mata batinnya, Dia akan menganugerahi dengan cahaya yang memperkenalkan asas-asa ketuhanan. Jika seseorang bekerja demi Allah, maka mata hatinya akan selalu terbuka untuk hal-hal yang kreatif, yang innovatif dan brilian. Karena Tuhan adalah Maha Sumber Ilmu, Maha Sumber Kecerdasan Yang Abadi.

Kreativitas memerlukan pengetahuan intuitif. Pengetahuan intuitif tidak mungkin diraih kecuali melalui hati yang suci. Hati yang suci adalah hati yang tidak terikat dan bebas dari kemelekatan dari selain Allah. Hati yang suci adalah hati yang tunduk yang sadar akan kehadiran-Nya, hidup bersama Allah, dan menemui Tuhan justru ketika tidak ada satu pun manusia yang menyaksikan. Berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu usaha untuk mendekati Tuhan. Cara untuk mencintai Tuhan adalah mencintai makhluk ciptaannya dengan memberikan pelayanan sepenuh hati bagaikan sedang melayani sang kekasih. Manusia adalah keluarga Allah. Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi keluarga Allah dan membuat mereka bahagia. Seseorang bertanya kepada Nabi S.A.W: “Siapa yang dicintai Allah ya Nabi?”. Nabi menjawab: “Orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”.

Carilah ilmu di mana pun, dari siapa pun yang dapat mengajarkanmu cara mencintai Allah atau dalam istilah tasawuf, disebut mahabbah kepada Allah. Langkah paling awal dalam proses pencarian ilmu mahabbah kepada Allah adalah merenungkan pertanyaan ini, dapatkah kita mencintai “Yang Satu Itu” tanpa terlebih dahulu berjumpa dengan-NYA?

Wa Allahu al-A’lam bi al-Shawab