Dahulu orang mengenal sebutan khusus bagi perempuan dari daerah tertentu seperti misalnya Mojang Priangan bagi gadis Sunda atau Putri Solo bagi gadis Jawa. Penyebutan tersebut bisa jadi dikaitkan juga dengan streotipe, termasuk cara berpakaian. Dari cerita-cerita rakyat, diketahui baik Mojang Priangan maupun Putri Solo secara fisik menggunakan busana kebaya, rambut digelung atau rambut panjang indah terurai. Tetapi apa yang mau saya sampaikan di sini bukan soal cerita rakyat namun soal transformasi budaya.
Ketika remaja, saya termasuk perempuan yang senang memakai baju tradisionil. Biasanya pada waktu memperingati Hari Ibu, RA. Kartini atau Proklamasi Kemerdekaan. Di sekolah kami merayakannya dengan berbagai kegiatan termasuk lomba pakaian daerah. Hingga memiliki dua anak pun saya masih juga berpartisipasi peragaan busana daerah di kantor. Berkebaya bagi saya, yang Mojang Priangan, merupakan moment yang membanggakan. Rasanya saya tampil beda dan very special, sebab dikenakan pada hari yang khusus. Termasuk hari lebaran pun saya merasa lebih afdol bila memakai busana sarung dan kebaya pada saat sungkeman kepada orang tua.
Belakangan saya mengamati tradisi ini sangat langka. Kini anak-anak gadis lebih suka ber-jeans dan ber-tengtop atau pakaian sportif lainnya yang modis. Kadang kebaya dikenakan dengan celana jeans. Awalnya saya mengira fenomena ini hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi ternyata merambah pula sampai ke daerah-daerah pelosok. Pemandangan ini saya temukan ketika saya kebetulan sedang tugas riset ke kampung-kampung. Sebagian perempuan Muslim ketika menggunakan kain kebaya, mereka melengkapi dengan jilbab bukan dengan sanggul atau konde. Sepertinya hal ini tidak terjadi hanya di pulau Jawa namun juga di daerah lainnya misalnya di Aceh, Sumatera. Saya terkesan sekali dengan kostum yang dipakai oleh para wanita pejuangnya salah satunya Cut Nyak Dien, terlihat ada sentuhan maskulin namun tetap anggun dan feminin. Sekarang kemanakah semua ini?
Mungkinkah dikemudian hari kita hanya dapat melihat Mojang Priangan dan Putri Solo seperti yang diceritakan dalam cerita-cerita rakyat kelak hanya berupa mannequin yang akan kita temukan hanya di museum-museum? Membayangkan situasi ini timbul kerinduan saya sebagai perempuan Indonesia yang Mojang Priangan itu. Tentu tidak dimaksudkan untuk berbangga hati dengan identitas fisik, namun bagaimana kita mau mengatakan cinta tanah air jika kita tidak mampu mempertahankan keorisinilan tradisi budayanya. Ini baru soal pakaian bagaimana dengan soal lainnya? Seperti apakah ciri-ciri bangsa Indonesia dikemudian hari? Bahagiakah Anda menjadi bangsa Indonesia? Satu hal yang saya yakini, seseorang merasa bahagia ketika dia dapat menjadi dirinya sendiri.
By:
Rani Anggraeni Dewi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar