Senin, 03 Mei 2010
KEPRIBADIAN (PSIKOLOGI AL-QUR’AN)
Selama ini kepribadian atau personality, kita ketahui dalam wacana psikologi modern, atau psikologi Barat atau disebut juga psikologi kontemporer. Ke empat mazhab psikologi, eksistensialis, behaviorisme, dan psikoanalisa serta psikologi humanistik menjelaskan teori kepribadian yang berbeda satu sama lain. Kendati berbeda pandangan, namun mereka sama-sama mengandalkan panca-indra untuk mengamati, mengevaluasi, dan menentukan tipe kepribadian seseorang.
Psikologi (ilmu tentang jiwa) ternyata tidaklah benar-benar ilmu yang berbicara tentang jiwa bahkan cenderung menafikan pembicaraan jiwa. Menurut mereka jiwa adalah sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dibuktikan dengan data empiris, sekali pun mereka tahu ada sumber kekuatan dibalik yang nampak melalui perilaku atau perbuatan seseorang. Sebagai contoh kita melihat seseorang yang berulang kali makan. Lalu kita dapat menyatakan dia sangat lapar karena dia makan. Padahal mungkin belum tentu dia lapar, siapa tahu dia sedang stress atau memang hobinya makan. Contoh lain kita melihat seseorang yang tidak tersenyum kepada kita ketika berjumpa, lalu mungkin kita akan katakan dia sombong, pemurung, tidak ramah atau sudah lupa kepada kita. Padahal siapa tahu dia sedang sakit gigi, tidak sehat, banyak pikiran, sedang gundah dan lain-lain.
Demikian pula seseorang yang nampaknya periang, mudah tertawa, tetapi ternyata dia sedang menutupi kesedihannya, kegundahannya. Dia sedang menghibur dirinya sendiri. Boleh jadi ia ingin dinilai tampak seorang yang tegar dan ramah, sehingga ia berusaha untuk tampil riang.
Begitulah kita kira, secara tak sadar kerap terpengaruh oleh “tampak luar” (exterior), sehingga seseorang di dalam lingkungannya cenderung berusaha untuk tetap menjaga image (jaim) agar senantiasa dapat diterima atau diakui oleh orang lain. Tidak jarang akhirnya kita merasa terbebani dengan penilaian-penilaian kita sendiri. Bagaimana tidak, kita tampil dengan tidak menampilkan diri kita yang sesungguhnya (The true self).
Carl Gustaf Yung, seorang tokoh psikologi transpersonal mengungkapkan pandangannya bahwa manusia adalah “spiritual being who seek experiences as a human being”.
“Diri” dalam psikologi berkaitan dengan kepribadian atau personality. Personality berasal dari kata persona, yang berarti topeng. Nah, ada berapa topeng yang kita miliki? Dalam kehidupan kita tidak lepas dari topeng-topeng peran (peran sosial). Tidak jarang pula topeng yang satu menutupi topeng yang lain, dan kita dapat menjadi topeng-topeng itu semau kita sesuai dengan keperluan dan tujuannya. Itu berarti kita tidak pernah tahu kepribadian seseorang yang sebenar-benarnya kan? Bahkan kita pun tidak mengenal diri kita yang sejati.
Dalam masa pertumbuhannya kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, atau pun pendidikan. Kepribadian menurut saya merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali, ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Tidak seperti psikologi modern yang memiliki berbagai pandangan atau teori kepribadian, di dalam al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya misalnya melalui surat al-Baqarah/2 ayat 1-20, banyak menggambarkan kepribadian yang baik dan yang tidak baik, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir dan kepribadian orang munafik. Pada surat-surat lainnya yaitu surat Shaad/38: 71-72, surat al-Hijr/15: 28-29, al-Qashash/28: 77 dan masih banyak lainnya.
Berikut ini sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam surat tersebut.
a) Kepribadian Orang Beriman (Mukmin)
Dikatakan beriman bila ia percaya pada Rukun Iman yang terdiri dari: iman pada Allah S.W.T, iman pada malaikat-Nya, iman pada Kitab-Nya, iman pada Rasûl-Nya, percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Tuhan (qadar/ taqdîr). Rasa percaya yang kuat terhadap Rukun Iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktifitasnya. Dengan nilai-nilai itu individu seyogyanya memiliki kepribadian yang lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian ini memiliki ciri-ciri antara lain:
* Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan,
* Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia,
* Senang menuntut ilmu,
* Sabar,
* dan jujur.
Pendeknya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (2005: 89), mengatakan; “Orang beriman adalah orang yang bertakwa, artinya orang yang menghindar”.
b) Tipe Kepribadian Orang Kafir (Kafirûn)
Ciri-ciri orang kafir antara lain:
* Suka putus asa,
* Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
* Tidak percaya pada Rukun Iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam,
* Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim,
* Mereka sering tidak setia kepada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman,
* Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan materialistis. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga seringkali berakibat ketidak-seimbangan pada kepribadian,
* Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan.
c) Kepribadian Orang Munafik (Munafiqûn)
Sifat atau watak orang munafik, antara lain:
* Mereka ‘lupa’ dan menuhankan selain Allah S.W.T,
* Dalam berbicara mereka suka berdusta,
* Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran,
* Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
* Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.
Dengan demikian umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad diutus ke bumi untuk memainkan peran sebagai model Insan Kamil bagi umat manusia.
Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan. Namun lebih dalam lagi kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs) kita yang saling berhubungan. Atau dapat dikatakan pula kepribadian seseorang berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs). Menurut Robert Frager terdapat tujuh tingkatan jiwa, yaitu:
1. Nafs Ammarah (Tirani)
Seperti: angger, lowest self, childish, egoistic, selfish, concern with self, pleasure principle atau singkatnya memiliki sifat jealous.
J – udjmental
E – agle eyed
A – ngry
L – onely (feeling rejected)
O – ver sensitive
U – nforgiving
S – cared (pencemas/ takut berlebihan).
2. Nafs Lawwamah (Penuh penyesalan)
Sudah tahu kebenaran, tetapi masih melakukan kesalahan dan kemudian menyesalinya. Self image oriented, building self impression and justification.
3. Nafs Mulhamah (Terilhami)
Menyesali perbuatan yang salah atau tidak terpuji, tetapi kemudian ada usaha untuk memperbaiki dan memulai mengilhami hatinya dengan nilai-nilai baru serta menginspirasi orang lain. Tetapi seseorang yang pada tingkat ini juga rentan terhadap godaan-godaan dari luar terutama tentang agama atau keyakinan. Ada kecenderungan meninggalkan dunia untuk cinta Allah, merasa dirinya besar, suci, orang pilihan Tuhan.
4. Nafs Muth’mainnah (Tentram)
* Penuh keyakinan terhadap Tuhan.
* Perilaku indah.
* Mengalami kenikmatan.
* Penuh rasa syukur dan kepuasan hati.
* Pengendalian ego yang baik.
5. Nafs Radhiyah (Ridha)
Jiwa yang selalu ridha/ ikhlas, ketulusan, sangat hati-hati, memperhatikan adab, kesederhanaan.
6. Nafs Mardhiyah (Yang diridhai Tuhan)
Sudah tidak ada angger and negative thought in everything.
7. Nafs Al-Kamilah (Suci)
The ultimate stations, perfection, pure being ness.
Menurut ilmu tasawuf terdapat cara-cara yang dilakukan para Sufi untuk mensucikan jiwa. Cara-cara ini merupakan serangkaian pengamalan ibadah yang harus dilakukan dengan istiqamah. Sesuai dengan pengalaman mereka, pengalaman tersebut memungkinkan terjadinya transformasi jiwa, dari jiwa yang rendah ke jiwa yang lebih tinggi, begitu seterusnya sampai pada tahap jiwa yang tertinggi. Selain itu para sufi memilki tradisi khalwat, yakni menghindar kehidupan rutin duniawi untuk sementara dengan tujuan latihan melepaskan diri dari hal hal yang selain Allah.
Apa yang kita sebut kepribadian adalah bagian dari “diri” kita, tidaklah tercipta sia-sia, diri kita memiliki sejarah—kisah tiada akhir sejak Nabi Adam. Kepribadian bagian dari “diri”ku ini mungkin berubah-ubah setiap saat, tetapi DIRI SEJATI, Sang “AKU” tetap dan tidak dapat berubah, tidak terikat ruang dan waktu serta kekal abadi. Aku kerap mengalami kerinduan yang mendalam bertemu dengan AKU, demikian AKU merindukan aku. Namun aku terhijab, tidak mampu menemukan jati diri—tertutup—buram oleh dosa-dosa kemaksiatan—terlena pada keindahan selain AKU—Sumber kearifan yang mengilhami aku, sumber cinta yang menyembuhkan dan menenteramkan jiwaku.
By: Rani A. Dewi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar