Senin, 03 Mei 2010

MENINGKATKAN KECERDASAN SPIRITUAL MELALUI “PERAN IBU”



Akhir-akhir ini di masyarakat ramai berkembang isu-isu berbagai kecerdasan. Salah satunya adalah Kecerdasan spiritual. Saya sebenarnya lebih setuju bila dipakai kata Kematangan ketimbang Kecerdasan, alasannya kata yang pertama lebih umum dibandingkan dengan kata yang kedua. Mungkin lebih mudah dimengerti oleh orang awam. Tetapi apakah sebenarnya Kematangan Spiritual itu? Berkaitan dengan agamakah atau tidak? Saya ingin mengajak anda memahami, walaupun melalui tulisan yang sederhana ini. Berkaitan dengan pendidikan di dalam keluarga, saya akan mengemukakan betapa pentingnya peran seorang ibu dalam menanamkan nilai-nilai spiritual.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan seseorang mentransendensikan diri dalam situasi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan sekaligus juga dapat memaknai setiap peristiwa yang dialami dalam hidupnya. Kecerdasan Spiritual, kata mereka lagi, merupakan “The Ultimate Intelegence” sesudah kecerdasan Intelektual dan Emosional dimiliki seseorang.

Kematangan Intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan dengan mempergunakan Nalar – Logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis, sistimatis dan efisien berdasarkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
Sedangkan Kematangan Emosional ialah orang yang mampu menselaraskan nalar dan nafsunya – dapat mengendalikan diri serta memiliki daya juang yang tinggi dengan tetap memperhatikan etika hubungan interpersonal.

Saya pribadi berpendapat sederhana saja yakni Kematangan Spiritual adalah suatu sikap arif yang dimiliki seseorang setelah ia memahami pengetahuan tentang dirinya. Itu berarti Ia sangat mengenal apa dan siapa dirinya. Suatu ajaran dalam sufisme diyakini bahwa siapa mengenal dirinya, Ia mengenal Tuhannya. Dengan demikian ia lebih “sadar” sehingga lebih berhati-hati dalam menjalani hidupnya.
Adapun ciri-ciri orang yang memiliki kematangan spiritual menurut pengalaman, pengamantan saya adalah antara lain:

- Berpandangan/ bersikap flexible
- Memiliki pengetahuan tentang dirinya (mengenal diri)
- Mampu memaknai peristiwa yang terjadi
- Memiliki visi dan misi hidup
- Berpikir secara holistik dan global
- Mementingkan kebahagian bersama.

Memiliki kematangan spiritual lebih dari kematangan pengetahuan keberagaman. Kematangan spiritual bermakna lebih luas dan dalam.

Seorang ibu mempunyai andil yang sangat besar dalam menumbuhkan kematangan spiritual pada anak-anaknya sebagai generasi masa depan. Sulit dipungkiri bahwa di belakang seorang anak yang berprestasi ada seorang ibu yang bijak seperti juga di belakang seorang suami yang sukses ada seorang istri yang arif. Secara luas baik sebagai ibu maupun sebagai isteri – ia adalah seorang yang dapat “bersikap keibuan” dengan kematangan spiritual yang tinggi yang tentunya ditunjang juga oleh kematangan intelektual dan emosionalnya. Ia adalah seorang yang mempunyai ciri-ciri seperti diuraikan tersebut di atas.

Lalu bagaimana caranya memiliki kematangan spiritual? Tentu ada beberapa upaya, tetapi tidak mungkin dibicarakan dalam waktu yang sesingkat ini. Karena tidak sesederhana itu. Selain melalui Transfer of Knowledge juga ada Transfer of Knowhow yang diberikan dengan menggunakan “metode mengalami” dalam serangkaian kegiatan Pelatihan dan konseling.

Salah satu upaya yang harus dilakukan ialah membersihkan penyakit hati kemudian membebaskan jiwa dari belenggu – nilai-nilai budaya atau keyakinan yang memaksa dan menimbulkan rasa tertekan. Secara psikologis, perasaan tertekan atau terbebani akan berakibat munculnya psikosomatik atau dapat juga muncul sikap-sikap agresif yang tak terkendali bisa juga sikap pasif yang membuat dirinya menderita.
Secara tidak sadar orang ini telah mendzolimi dirinya sendiri dan akhirnya dapat mendzolimi orang lain serta merugikan lingkungan yang hidup di sekitarnya.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Kematangan Spiritual – pendapat saya pribadi adalah sikap arif yang dimiliki seseorang setelah ia memahami pengetahuan tentang dirinya. Untuk memahami pengetahuan itu diperlukan waktu yang tak terbatas dan proses yang panjang bahkan seumur hidup. Mengapa demikian? Karena manusia bersifat unik, penuh misteri, suatu fenomena. Tak satupun orang yang dapat menguasai ilmu Allah yang Maha Berilmu. Namun secara subtansi, manusia adalah mahluk paling sempurna di antara semua ciptaan-Nya.

Oleh karenanya Allah SWT sungguh memuliakan manusia ketika ia menjaga akhlaknya dan akan merendahkannya ketika manusia tidak beramal soleh dan memelihara martabatnya. Sikap berakhlak mulia inilah yang seharusnya ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya. Terutama oleh para ibu yang menjadi madrasah utama dalam pendidikan keluarga.

Tapi masalahnya sekarang adalah apakah setiap ibu siap menjadi madrasah utama sesuai dengan yang diharapkan oleh cita-citanya sendiri. Seringkali seorang ibu itu belum selesai dengan konflik pribadinya sendiri – masalah yang berhubungan dengan masa lalunya sampai saat “Peran Ibu” itu datang begitu saja.

Apa jadinya ketika “Peran Ibu” dijalankan dengan sikap-sikap relatif, agresif, diwarnai oleh penyakit hati – mungkinkah kelak menghasilkan anak-anak yang cerdas intelektual, emosional dan spiritual? Terus terang saya ragu, sebab sebagian besar kepribadian seseorang ditentukan oleh pola asuh, ditambah juga dengan sistim pendidikan formal yang penuh dengan target-target kurikulum yang membebani anak.

Sebagai langkah awal, praktis dan sederhana ada bimbingan untuk memiliki kebebasan jiwa dari belenggu dosa penyakit hati, yaitu sebagai berikut:

1. Be Impeccable with your word (Bahasa yang baik):
Hati-hatilah dengan ucapan anda
Periksa kata-kata, sebab katak-kata berupa doa juga. Bahasa mengandung kekuatan magnet. Seiring apa yang diucapkan bisa terjadi begitu saja.

2. Don’t Take anything Personally (Jangan menganggap serius pribadi anda):
Lihatlah orang lain apa adanya. Tanpa kita sadari kita sering menuntut orang lain dan menyalahi diri sendiri. Kita merasa benar karenanya orang lain harus seperti kita. Atau kemudian kita terpengaruh oleh nilai-nilai orang lain yang sebenarnya tidak cocok untuk kondisi kita.

3. Don’t Make Assumption (Jangan membuar asumsi):
Komunikasikanlah secara jelas apa yang ada di dalam benak anda. Kita tidak dapat mengharap orang lain selalu mengerti apa yang kita mau. Jangan mencoba menduga-duga pikiran orang lain. Lebih baik bertanya dan kumpulkan informasi.

4. Always Do Your Best (Lakukan yang terbaik):
Apa-apa yang terbaik dari diri anda senantiasa berubah setiap saat. Namun janganlah berbuat melebihi yang anda mampu. Manusia sudah sempurna sesuai dengan kapasitasnya, hargai diri dan energi anda. Dan lakukan pekerjaan karena anda ingin melakukannya demi ibadah bukan karena ingin mendapat imbalan bahkan pujian orang lain.

Sekilas memang kelihatannya mudah, biasanya sulit ketika dilakukan. “Ah itu kan teori…” begitu kata iklan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya yang konsisten mengkaji terus pengetahuan tentang diri melalui suatu metode experensial dalam pelatihan dan konseling.

Begitu seseorang mengalami “pencerahan” maka semua menjadi mudah, tubuh terasa ringan, hati bersih dan perasaan bahagia yang murni menyelimuti jiwa yang suci.

Sejalan dengan tujuan “peran ibu” menjadi madrasah utama, pendidikan keluarga Insya Alllah tercapai – karena sifat asuh, asah, asih mewarnai setiap perilaku dan perbuatannya sehari-hari.



By: Rani A. Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar