Rabu, 05 Mei 2010
MENGAPA POLIGAMI
Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukan merupakan masalah baru. Artinya masalah ini telah ada dalam kehidupan ini dan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan peradaban manusia.
Saya mengetahui juga bahwa poligami bukan hanya dilakukan oleh orang-orang Arab atau Islam, tapi dilakukan juga oleh non-Arab dan non muslim. Dahulu kala sebelum Islam datang, poligami dilakukan tanpa batas dan tanpa dasar hukumnya, orang melakukannya atas sekehendak hatinya. Dan umumnya hanya untuk pemuasan nafsu dan unjuk kekuasaan. Tentu dalam hal ini menurut saya pada kenyataannya perempuanlah yang dikorbankan atau dirugikan. Maksudnya perempuan ada pada posisi yang lemah dan hanya sebagai objek nafsu. Namun pada beberapa kasus poligami, ada juga perempuan yang “senang” dan juga katanya “ikhlas”.
Setahu saya Islam membolehkan (jika ditafsirkan demikian) seorang Muslim melakukan praktek poligami bukan ditujukan sebagai sarana memuaskan hawa nafsu, tetapi ada tujuan-tujuan kemanusiaan dan membangun moralitas masyarakat. Jadi seyogyanya poligami merupakan solusi syariat untuk memelihara akhlak manusia agar tidak jatuh pada kehidupan yang asusila. Walau pun tidak menjamin juga sih, bisa saja sudah berpoligami tapi tetap “jajan” pula diam-diam.
Islam datang, memberikan peraturan yang manusiawi, serta memposisikan perempuan pada derajat yang mulia. Ditinjau dari fiqih, atau dalil-dalil yang mendasari, penulis disatu sisi setuju poligami sebagai salah satu cara untuk melindungi kaum perempuan dalam mempertahankan hak-haknya, serta mengangkat derajatnya. Sekali lagi ini hanya menurut fiqih loh, kita tentu sependapat bahwa menghadapi persoalan tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang saja, mengingat terdapat berbagai aspek kehidupan—kalau kita mau bersikap arif.
Pada kesempatan ini saya ingin berbagi pemikiran yang muncul dari pengalaman membantu beberapa teman yang curhat kepada saya—lagi-lagi tentang perselingkuhan yang di antaranya ada yang kemudian diakhiri dengan poligami. Dari pengalaman itu saya memandang poligami sebagai suatu kasus sosial, fenomenologis dan psikologis, yang sifatnya sangat personal. Bagaimana pun juga poligami adalah suatu realita kehidupan yang bisa saja, mau tidak mau, terjadi dan memang ada bahkan dinikmati sekaligus juga bagaikan duri dalam daging.
Berikut ini data yang saya dapatkan dari beberapa kasus, yang saya asumsikan sebagai suatu kenyataan dan “kebenaran” bagi mereka yang mengalaminya. Dari ungkapan mereka, saya mendapatkan banyak masukan yang merupakan informasi berharga—yang menuntut sikap empati saya sehingga lebih mudah mengerti dan memahami kondisi mereka. Berbagai alasan dikemukakan—ekonomi, psikologis dan keyakinan agama serta kesehatan terpaksa (katanya…) menjalankan kehidupan poligami. Misalnya ada contoh sebagai berikut:
Pertama, alasan Ekonomi (untuk kesejahteraan hidup): Seorang wanita tidak berpenghasilan sehingga bersedia menjadi istri ke 2 atau ke 3. Alih-alih bekerja keras menghidupi diri sendiri terlebih masih ada tanggungan orang tua dan anak. Demikian pula dengan istri pertama. Ia berpikir sekian kali untuk bercerai, karena bingung bagaimana mencari nafkah, maka ia rela dimadu. Kedua, alasan rasa aman psikologis; Sudah sangat jatuh cinta dan tergantung, tidak mampu hidup sendiri, merasa kesepian. Ketiga, alasan keyakinan yang dianut; Mengizinkan suami berpoligami, akan mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan. Ia percaya bahwa cara ini menunjukkan sikap berbakti pada suami dan patuh pada ajaran agamanya. Keempat, alasan Kesehatan; Karena sakit, tidak mampu melayani suami sehingga mengizinkan suami menikah.
Demikian juga bila tidak bisa memberikan keturunan karena kondisi fisiknya, maka ia mempersilahkan suami menikah lagi tanpa harus bercerai. Ada alasan lain lagi yang dirasa “aneh”, yaitu istri memilih berpoligami demi prestige, karena malu bercerai, mengingat suami seorang pejabat dan sudah dikenal keluarga yang rukun bahagia. Wah ada-ada saja … jadi saya pikir poligami terjadi karena ada kesepakatan … Entah sampai berapa lama ia mampu mempertahankan perkawinan demi nilai-nilai prestige.
Menurut pemahaman penulis, Islam sebenarnya hanya mengakui monogami sebagai bentuk perkawinan yang ideal. Seorang pria dapat menikahi istri lebih dari satu dengan beberapa persyaratan. Sebagai Negara hukum, di Indonesia hal ini diatur oleh undang-undang perkawinan (Kompilasi Hukum Perkawinan). Terlebih lagi Allah juga memiliki aturan seperti firman-Nya pada Surat An-Nisa/4 ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Inilah satu-satunya ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang poligami. Namun sebenarnya ayat di atas berhubungan dengan kondisi sosial di tanah Arab pada saat itu, selain perbudakan, akibat dari peperangan, banyak janda dan anak yatim.
Pada Zaman modern dewasa ini, hendaknya sektor pendidikan harus lebih memperhatikan segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan dan pembinaan keluarga. Semua anak baik perempuan maupun laki-laki harus diberikan peluang untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya. Setiap anak harus memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai anggota masyarakat. Maka mereka betul-betul paham konsekuensi dan resiko dari setiap sikap yang mereka ambil.
Melalui pendidikan dan contoh dalam keluarga, sistim nilai-nilai agama dapat ditanamkan agar manusia memiliki kematangan rasional, emosional dan spiritual yang tinggi. Alih-alih melakukan poligami, saya menganjurkan agar perempuan mampu memberdayakan diri sendiri. Menggali potensi, melakukan aktualisasi diri melalui pendidikan, mengasah ketrampilan yang lebih produktif, hingga mampu menghasilkan income sendiri. Memperluas pengetahuan umum ditambah ilmu agama dan meningkatkan penghayatannya untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan akan ketergantungan kepada selain TUHAN Sang Sumber Energi.
Ayat-ayat suci Al-Qur‘an hendaknya dikaji secara mendalam agar dipahami menurut makna tekstual dan kontekstual, makna lahir dan makna batin. Renungkanlah, bukankah perempuan secara fitrah juga memiliki art of leadership. Bagaimana jika potensi ini diaktualisasikan kepada berbagai kegiatan sosial hingga ia mampu menolong orang banyak dan dirinya sendiri.
Dalam perspektif psikologi dikatakan bahwa dengan multi kecerdasan, orang lebih mudah fokus pada satu tujuan hidup manusia yang hakiki. Masih banyak yang dapat kita lakukan dalam hidup ini untuk mengisi kehidupan yang lebih bermakna ketimbang sibuk memikirkan kebutuhan “dari perut ke bawah”. Saya teringat, sufi terkenal Hazrat Inayat Khan mengatakan:
“Any study of psychology show that success and happiness in life are found in singleness of mind. To focus it self the mind takes a single direction and singleness of vision cannot fail to develop singleness of purpose. So It that the ideal of monogamy has been considered by the wise as no less sacred than religion”.
By: Rani A. Dewi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar