Selasa, 04 Mei 2010
SEKILAS TENTANG "MENJADI MANUSIA HOLISTIK"
Manusia merupakan puncak kreativitas Tuhan yang tidak akan pernah habis dibahas dan dikaji, selalu saja menarik untuk dijadikan obyek studi. Bagaimana tidak, seluruh aspek kehidupan berkaitan dengan eksistensi manusia. Penulis yakin manusia tidak akan pernah berhenti mempertanyakan masalah eksistensi dirinya seraya memperjuangkan kebahagiaan, mencari kebenaran, dan menegakkan keadilan.
Segala temuan dan teori yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia menjadi rujukan tindakan manusia, khususnya di abad modern sekarang ini. Salah satu contohnya adalah pandangan Psikologi Humanistik yang sangat menjunjung nilai-nilai martabat manusia. Abraham Maslow sebagai salah seorang pendiri madzhab ketiga psikologi tersebut kemudian mengangkat nilai-nilai luhur kemartabatan manusia dengan mengemukakan teori jenjang kebutuhan pokok manusia. Maslow berpandangan bahwa manusia hendaknya berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut sampai pada tingkat kebutuhan yang tertinggi yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, sebab menurut Maslow hanya orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya yang dapat meraih kebahagiaan.
Sedangkan di dalam tradisi Islam klasik diungkapkan tentang para Sufi, sekelompok orang yang sangat concern dengan kesucian jiwa. Mereka mengupayakan kesucian jiwanya dengan melalui kegiatan tazkiyyat al-nafs. Dahulu dalam kesejarahannya para Sufi dianggap sebagai orang-orang yang tidak mengutamakan ‘dunia’. Mereka menjalankan kehidupan asketis, tidak tergantung pada kesejahteraan fisik lahiriah dan materialisme serta menjauhkan diri dari masyarakat. Mereka hidup mengasingkan diri untuk berzikir kepada Allah. Menjalankan hidup ‘seadanya’ merupakan keseharian mereka. Menurut mereka kehidupan materialisme hanya akan membuatnya tergelincir dan menjauhkannya dari cinta kepada Allah. Di masa puncak kesuksesannya Imam al-Ghazali pernah menjalani kehidupan asketis beberapa tahun. Setelah itu dia kembali ke masyarakat menekuni profesi seperti sebelumnya dengan diwarnai sikap kesufian yang lebih menonjol.
Saya memiliki pemikiran bahwa teori kebutuhan pokok Maslow bukanlah hal yang sama sekali keliru, mengingat seluruh kehidupan ini adalah tanggungjawab manusia sehubungan dengan Tuhan sudah mempercayakan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Demikian pula penulis memiliki pandangan bahwa sikap hidup yang dijalankan oleh para Sufi bukanlah jalan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, karena esensi tasawuf bersumber dari Al-Qur‘ân dan Al-Hadîts. Bahkan tampaknya jalan hidup asketis merupakan jalan yang dapat membuat manusia senantiasa ‘sadar’. Pengetahuan siapa dirinya membawa manusia pada kesadaran yang tinggi akan kehadiran Tuhan di setiap langkahnya juga kesadaran akan gerak Tuhan di setiap manifestasi-Nya. Di zaman serba modern sekarang ini, manusia tidak harus menjalani hidup asketis untuk menjadi seorang sufi. Hakikat kesufian terletak pada kebersihan jiwa, karena bebas dari penyakit hati, tidak berlebihan dalam pemenuhan kebutuhan dan beribadah hanya karena Allah SWT semata.
Sekilas tampaknya pandangan tentang manusia dan jalan hidupnya yang dikemukakan oleh kedua madzhab tersebut di atas bagaikan bertolak belakang, namun bukankah sebenarnya nilai-nilai pada kedua pandangan di atas dapat di padukan sehingga melahirkan sikap hidup yang holistik. Allah SWT tidak melarang manusia memenuhi kebutuhan duniawinya bahkan dianjurkan berusaha mencapainya untuk tujuan hidupnya. Namun di sisi lain Allah juga tidak ingin dilupakan atau manusia sampai tega menduakan-Nya. Allah Maha Pencemburu di samping Maha Pemberi. Dia meminta manusia hanya memikirkan tentang kebesaran-Nya, karena dengan demikian manusia akan memiliki ‘God Consciousness’.
Adapun wacana yang berkembang selama ini, adalah tentang suatu ilmu yang banyak menyinggung masalah eksistensi manusia dan mampu berdamai dengan diri mereka sendiri yang oleh para orientalis dinamakan Sufisme atau Tasawuf. Landasan Ilmu Tasawuf adalah Al-Qur‘ân dan Hadîts Nabi yang sudah sangat diyakini oleh umat Islam sebagai rujukan utama, sumber pengetahuan dan pedoman hidup. Al-Qur‘ân yang berisi ajaran Tuhan merupakan wahyu yang diturunkan kepada Rasûlullah S.A.W., bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali. Al-Qur‘ân mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebajikan atau pun petunjuk bagaimana seharusnya manusia ‘menjadi’, bagaimana menjadi manusia yang ‘bahagia dan eling’ sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah S.W.T juga. Sebab Bahagia bagi kaum beriman seharusnya tidak berhenti pada dimensi fisik seperti dunia ini, tetapi juga merasuk ke dalam batin yang merupakan cita-cita hingga akhir hayatnya dan dibawanya sampai ‘kehidupan nanti’.
Sementara di dalam Hadîts Qudsî dikatakan: “AKU pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian AKU ingin dikenal, maka Ku-ciptakanlah makhluk dan melalui AKU mereka pun kenal pada-Ku”. Hadîts ini mengandung makna yang sangat dalam dan memberi inspirasi kepada saya bahwa Allah menyampaikan pesan agar manusia mengenal-NYA dan semua makhluk ciptaan-NYA merupakan manifestasi dari DIRINYA.
Mengenal diri merupakan salah satu pokok kajian dalam Ilmu Tasawuf. Dalam bahasa Arab, mengenal diri disebut ‘ma’rifatun-nafs’ (ma’rifat al-nafs). Ma’rifat al-nafs yang dimaksud adalah pengetahuan tentang diri sejati, hakikat manusia bukan sekedar mengkaji bagian fisik lahiriah kita yang kasat mata, bukan pula pengetahuan tentang keturunan atau kehidupan mencari materi yang serba terbatas, tetapi jauh di balik itu semua. Fenomena manusia penuh misteri, yang sejak dahulu tidak pernah tuntas para ilmuwan menjawabnya. Oleh karenanya, setelah menelaah berbagai peristiwa kehidupan dan sumber tersebut di atas, sepertinya terdapat hubungan antara usaha mengenal diri dengan proses pengembangan pribadi.
Pentingnya ma’rifat tentang diri (kenal diri), sangat perlu ditekankan dalam hubungannya dengan pengembangan pribadi. Rasûlullah S.A.W dalam Hadîtsnya menasihati umatnya, yang berbunyi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, telah mengenal Tuhannya [Rabb-nya]). Hadîts ini oleh para Sufi dijadikan landasan untuk mencari pengetahuan tentang hakikat diri sebagai jalan yang menuju kepada pengetahuan tentang Tuhan. Hadîts ini juga menyiratkan bahwa: “Pengenalan diri berkaitan dengan pengetahuan tentang Tuhan pula, artinya orang yang ‘lupa diri’ tidak akan mengenal Tuhannya dan sebaliknya”. Merujuk Hadîts tersebut di atas, nampaknya pengetahuan tentang diri sendiri merupakan pengetahuan yang paling bermanfaat, karena pengetahuan tentang diri akan mengantarkan kita kepada pengetahuan tentang Tuhan berikut segala aspek yang berkaitan dengan-Nya. Imam Alî r.a menguatkan bahwa: “Bilamana pengetahuan seseorang bertambah, maka perhatiannya kepada jiwanya pun juga bertambah, dan dia berusaha sekuatnya untuk melatih dan menyucikannya”. Secara tersirat pernyataan Imam Ali r.a tersebut memberikan pesan tentang pengembangan pribadi, artinya ketika seorang mulai mengenal dirinya, maka ia akan terdorong untuk terus memperbaikinya pula. Jadi, pengembangan pribadi merupakan proses mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri yang berbuah pada kematangan jiwa.
Terlepas dari berbagai potensi manusia, pembicaraan mengenal diri atau pengenalan diri terkait pula dengan faktor kebutuhan manusia, karena selama hidupnya manusia mustahil lepas dari faktor kebutuhan. Maslow mengangkat masalah kebutuhan manusia, yang menurut pemikirannya berjenjang, yakni yang dikenal dengan ‘Hirarki Kebutuhan Dasar’. Kebutuhan manusia yang berjenjang ini terdapat pada setiap individu dengan kadar yang berbeda satu sama lain.
Maslow dalam bukunya Toward a Psychology of Being (1968: 324), mengungkapkan tentang proses tahapan kebutuhan yang dirancangnya sebagai berikut: “If lower needs are satisfied, there is a natural tendency to move upward to meet the next level of needs, if lower needs are not satisfied there is a natural tendency to return to these levels until the needs are met”.
Demikian mengenal diri dalam kerangka Psikologi Humanistik, sebagai upaya memahami manusia, yang terdiri dari dua dimensi, yakni dimensi fisik yang dapat diamati oleh panca-indra dan dimensi non-fisik yang tidak dapat diamati oleh panca-indra, namun bisa dirasakan intuisi. Psikologi Humanistik berpandangan manusia mempunyai modal untuk menciptakan dunianya sesuai dengan keinginan, karena manusia memiliki kebebasan berkehendak. Kehendak yang timbul dalam diri manusia ditunjang oleh berbagai kebutuhan yang berjenjang. Berbagai kebutuhan itu bersifat inheren dan fitrah. Hirarki kebutuhan manusia itu dijelaskan oleh Maslow dalam teorinya: A Theory of Human Motivation. Sehubungan dengan teori tersebut manusia ditempatkan pada posisi yang tinggi dan bermartabat. Namun manusia cenderung berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhannya itu. Hal ini disebutkan pula di dalam Al-Qur‘an:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan TuhanMu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan pada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesunguhnya hanya kepada TuhanMu-lah kembalimu” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-8).
Ayat Al-‘Alaq tersebut di atas seolah-olah menyampaikan pesan, pertama; mengingatkan manusia akan asal-usul kejadiannya yaitu dari segumpal darah. Kedua, memberitahukan tentang kelebihan manusia yaitu diberikan ilmu. Ketiga, menggugah kesadaran akan kemungkinan munculnya masalah serius yaitu sikap melampaui batas, di mana ia merasa dirinya serba cukup, sehingga bisa jadi kemudian ia tidak lagi melihat kebenaran dan membutuhkan Tuhan.
Di dalam Al-Qur‘an ditemukan 3 istilah untuk menyebutkan manusia, yaitu pertama; ‘Al-Basyar’ yang artinya anak turun Adam, yakni makhluk fisik yang memiliki kebutuhan makan dan hiburan. Kedua, ‘Al-Nas’ dalam Al-Qur’an di antaranya dengan tegas menunjukkan pesan bagi keseluruhan makhluk hidup secara mutlak. Ketiga, ‘Al-Ins’ mengandung makna sisi kemanusiaan yang “tidak liar” atau “tidak biadab”. Dengan sifat kemanusiaan itu manusia berbeda dengan jenis-jenis makhluk lain termasuk “jin”.
Singkatnya analisa terhadap kedua pandangan tersebut di atas menghasilkan beberapa kesimpulan di antaranya adalah pertama, manusia hendaknya mengenal dirinya dalam arti harus mencari pengetahuan tentang hakikat dirinya. Kedua, manusia harus mengembangkan dan mengaktualkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya dengan diwarnai oleh nilai-nilai spiritual yang berpijak pada tujuan-tujuan luhur dan universal. Ketiga, manusia memerlukan suatu cara yang efektif untuk mendapatkan pengetahuan tentang dirinya dan pengembangan pribadi yang lebih holistik, yaitu memadukan pengembangan pribadi model Psikologi Humanistik (Abraham Maslow) dan pengembangan pribadi metode Sufistik (tazkiyyat al-nafs).
Mengaktualisasikan diri dan mensucikan jiwa bagi penulis tidak saja sekedar untuk mewujudkan potensi insaniah yang lahiriah dan batiniah, namun jauh lebih dari itu yakni mengadanya kesadaran tinggi akan kehadiran Sang Maha Pemberi potensi-potensi itu di dalam diri. Sehingga pengembangan pribadi holistik yang dimaksud penulis adalah suatu proses menjadi manusia yang pengembangan pribadinya utuh, atau dapat disebut juga suatu proses menjadi manusia holistik, manusia yang berkepribadian humanis dan sufistik.
By: Rani A. Dewi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selamat Sore Mbak Rani...
BalasHapussaya M Zainal Fikri...barusan saya membac menarik sekali barusan saya membaca tulisan anda di laman ini...
benar sekali ketika seseorang mencapai suatu "titik" tertentu dan "titik" inilah yang akan membawa seseorang menjadi "seseorang" baik bermakna positif maupun negatif (mohon diluruskan bila keliru...nah ada satu pertanyaan yang ane coba haturkan (gubrak) bagaimana dengan sisi-sisi "gelap" seseorang masihkah ada kesejahteraan di dalam dirinya....makacih....
Selamat siang Bu Rani,
BalasHapusSaya Nadya Fahmida, saya baru saja membaca blog ibu sejak saya search nama ibu di google karena berhubung ibu adalah ibunda dari Abenk Alter idola saya. Saya sangat tertarik dengan buku Ibu, dan sangat ingin membaca nya. Apakah saya bisa dibantu Bu dimana saya bisa mendapatkan buku tsb. Salam hangat untuk ibu.