Rabu, 05 Mei 2010

AKTUALISASI PENGASUHAN ANAK





Masih ingatkah Anda ketika awalnya Anda memasuki dunia baru, dunia perkawinan, dunia berrumah tangga, membentuk keluarga sendiri. Tentu Anda akan langsung menerawang – menelusuri kembali – bagaimana Anda berdua atau mungkin secara pribadi saja – membayangkan sebuah keluarga yang Anda inginkan itu terwujud. Saya yakin, pasti Anda juga memikirkan tentang pengasuhan anak, bahkan ada yang mulai membaca buku, mengikuti seminar-seminar atau bertanya pada ahlinya, atau bisa jadi malah tidak memikirkannya sama sekali.

“Ah gimana entar ajalah”, “Gampang”, “Lahir aja belum”, begitulah. Saya pernah berulangkali mendengar dari calon orang tua di lingkungan saya. Memang kalau direnungkan sebenarnya kita ini kan tidak pernah serius memperhatikan hal itu. Apalagi tidak ada “Sekolah untuk menjadi orang tua”. Sementara sekolah untuk menjadi pimpinan perusahaan banyak, bahkan menjamur. Hampir semua menawarkan cara-cara yang jitu menjadi eksekutif yang sukses, dan saya yakin Anda pasti setuju dengan saya, bahwa semua orang tua bangga bila kelak anaknya menjadi salah satu di antaranya.

Kemudian kita pun membayangkan punya anak yang “Eksekutif Sukses” tadi, betapa bahagianya dihari tua kita, hidup terjamin, senang – segala sesuatunya dilayani dan serba ada. Tidak lupa pula “berhalo-halo” kepada kerabat, keluarga serta tetangga bahwa anak kita sudah menjadi “Ini” dan menjadi “Itu”. “Wah hebat ya anakmu”, kata mereka sambil berdecak. Kita pun dalam hati – merasa sukses – juga ada kenikmatan tersendiri mendengar pujian itu, betulkan?

Tapi apakah sukses menurut kita itu sama dengan sukses yang dimaksud oleh anak-anak kita? Apakah nilai sukses yang dulu ditanamkan oleh orang tua kepada kita dulu masih berlaku bagi anak-anak kita sekarang? Mari kita renungkan kembali. Yang saya tahu dan saya alami, dulu ditanamkan nilai-nilai sukses pada benak saya, seperti:

1. Bila setamat SMU saya masuk Perguruan Tinggi, lebih utama bila UMPTN dengan rangking satu atau yang popular.
2. Kemudian saya menjadi Sarjana, apalagi bila sesuai dengan gelar kesarjanaanya orang tua.
3. Setelah jadi sarjana, bekerja pada suatu Lembaga atau Departemen, misalnya BUMN.
4. Mendapatkan jaminan kesejahteraan yang “Wah” dari Lembaga tersebut (termasuk tunjangan hari tua).
5. Setelah + 20th bekerja, berhasil menjadi pimpinan, direktur, naik mobil mewah, tinggal di rumah dinas yang mewah dijaga satpam atau mungkin juga tinggal di rumah pribadi yang letaknya di daerah elit.
6. Mondar-mandir bertugas ke luar negeri (mungkin juga hanya jalan-jalan).
7. Menjadi orang terkenal (top deh), misalnya: pejabat, tokoh masyarakat, semacam selebriti.

Mungkin saja Anda juga mengalami kondisi yang sama dengan saya, sebab standard nilai sukses tersebut di atas memang bersifat sangat “Komensens dan Tradisional – Normatif” menurut masyarakat modern dewasa ini – terutama yang hidup di kota-kota besar, di mana pembangunan fisik sangat pesat. Seringkali karena ingin dikatakan orang tua yang sukses menurut standard nilai seperti di atas – seperti yang dianut oleh masyarakat – lingkungan di mana kita berada, maka dengan segala upaya kita memaksakan pula menanamkan standard nilai tersebut pada anak-anak kita tanpa meninjaunya kembali – bagaimana perasaan mereka “yang diharapkan menjadi orang yang seperti kita inginkan kelak”.

Padahal menjadikan anak-anak seperti yang kita inginkan, yang sukses menurut standard kita belum berarti memenuhi standard Allah SWT.

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami membalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh …” (Surat At-Tiin Ayat 4,5,6).

Al-Hujjah Al-Akbar, Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”. (Al-Ghazali, Mizanul Amal, 1961, I, 361).

Kemudian Herbart, seorang ahli didik Jerman (1776 – 1841) juga berpendapat bahwa “Tujuan yang asli dari Pendidikan ialah mempertinggi akhlak kemanusiaan”. (Drs. Zaiuddin, dkk, Seluk beluk pendidikan dari Al-Ghazali hal 45).

Dan kita semua sudah tahu bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad S.A.W diutus ke dunia dengan tugasnya yang utama adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.

Standard nilai sukses yang kita anut selama ini, yang kita terapkan pada anak-anak kita, tidaklah salah. Namun itu semata-mata hanya sukses pada tataran kulit atau sukses lahiriah saja (Aspek Intelektualitas) yang belum dan bahkan mungkin jauh dari sukses yang diinginkan oleh Allah S.W.T. Karena penekanannya adalah pada akhlak dan yang beramal shaleh, maka intelektualitas bukanlah apa-apa bila tidak dilengkapi dengan aspek kematangan emosional dan spiritual.

Tetapi bagaimana kita, para orang tua bisa menanamkan dan menumbuhkan ketiga kematangan tersebut di atas bila kita masih saja “keukeuh” (Sunda) menganut nilai-nilai sukses seperti tersebut di atas, menjadikan mereka seperti “yang kita inginkan”. Jadi jangan salahkan mereka bila anak-anak tumbuh dengan sikap yang berorientasi pada kehidupan materi (kebendaan), merasa benar selalu, keras hati, tidak asertif, mudah labil, kurang kreatif, dan tidak percaya diri, serta tidak memiliki “sense of crisis” yang tinggi.

Untuk bertahan hidup dan bahagia lahir batin, kesuksesan yang diraih hendaknya tidak sebatas lahiriah saja, sebatas kehidupan di dunia semata, tetapi hendaknya menghasilkan makna yang lebih dalam menembus batin, kemudian berakhir bahagia di kehidupan akhirat yang abadi. Al-Ghazali, seorang ahli pendidikan Muslim dan ahli tasawuf pada abad 5 H (450 H) berpendapat bahwa, “Pendidikan hendaknya ditujukan kearah mendekatkan diri kepada Allah S.W.T dan dari sanalah akan diperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat”.

Kini sudah saatnya kita para orang tua, para pendidik melakukan “Paradigm Shift” (Hijrah) apakah kita masih perlu menganut standard nilai sukses itu seperti yang dianut masyarakat pada umumnya ataukah kita berani menjadi orang tua yang berbeda yang berani menerobos nilai-nilai lama itu. Menurut hemat saya nilai-nilai tersebut sudah tidak compatible lagi untuk anak-anak di era ini. Setiap anak terlahir untuk zamannya, bukan zaman di mana orang tuanya dulu dibesarkan.

Dalam sebuah laporan riset yang diuraikan pada buku “Raising Self Reliant children in a self indulgent world”, pengarangnya menulis bahwa: “Agar anak berkembang dewasa utuh dan sukses lahir batin, mereka harus diajak bicara secara jujur dan dilibatkan dalam percakapan serta pengambilan keputusan yang sepadan dengan tingkat pemahaman mereka. Riset tersebut juga mengkonfirmasi bahwa dialog dan kerjasama membentuk fondasi perkembangan moral dan etika, pemikiran kritis, kematangan penilaian dan mengajarkan efektifitas dalam bertindak. Anak-anak sekarang sering dibesarkan secara pasif dengan sedikit peluang untuk menemukan identitas mereka dan mengenal bakat-bakat mereka sebelum terjun ke masyarakat yang semakin terafiliasi dan bersifat teknis. Kalau pun mereka tahu apa yang ingin mereka capai sering terhambat oleh orang tua yang “Keukeuh” tadi.

Jika kita bersedia mendengarkan suara hati mereka, memberi waktu dan energi untuk mengasuh anak-anak kita sesuai dengan fitrah mereka, ajarkanlah pada mereka bagaimana seharusnya kita memahami dunia apa adanya – secara realistis. Setelah itu kita perlu membiarkan mereka menapaki jalannya sendiri sekali pun mungkin sekali- kali mereka tampak ekstrim. Tetapi jika kita bersikap egaliter, sesuai dengan kondisi jiwa mereka, “berdialog”, untuk mereka percaya pada diri sendiri dan yakin akan kapasitasnya bahwa mereka mampu menjalani hidup menurut nilai-nilai mereka sendiri (tetap dalam koridor kaidah-kaidah agama), maka bukankah kita tidak perlu mengatur apalagi meyakinkan nilai-nilai sukses menurut kita, kita perlu juga mendengar “Suara Hati” mereka.

Penting untuk diingat bahwa sesungguhnya setiap anak membawa tugas masing-masing untuk diselesaikan dimasa hidupnya. Mereka dilahirkan bukan semata-mata untuk dibentuk oleh pengaruh-pengaruh orang tua. Paradigma baru mengasuh, mendidik anak ini merupakan penambahan dimensi yang tidak kita miliki ketika kita dibesarkan oleh orang tua kita. Jadi adalah wajar bila anak-anak kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita, mengambil jalan yang menurut kita “lain” dan “keliru”, (Dianggap demikian karena tidak sama dengan kita).

Saya ingin berbagi ide pengasuhan anak yang selama ini saya terapkan terhadap anak-anak saya sendiri. Bisa jadi saya adalah orang tua yang berani berbeda – yang menganut nilai-nilai yang tidak sama seperti pada umumnya, sebab itu saya akan merasa sukses sebagai orang tua bila saya melihat anak-anak saya bersikap:
- Jujur pada dirinya sendiri, sekali pun yang dikatakannya boleh jadi menyakitkan kita.
- Berani menghadapi kenyataan sekali pun pahit.
- Percaya diri, sekali pun harus berbeda dengan orang lain di lingkungannya.
- Menghormati perbedaan apa pun termasuk perbedaan dalam hal belief and faith.
- Tahu apa yang ingin dicapai dalam hidupnya (memiliki visi)
- Sadar akan potensinya yang perlu dikembangkan (kenal diri).
- Mampu memotifasi diri untuk belajar hal-hal yang baru.
- Mampu bersikap asertif, yakni mengungkapkan kebutuhan pribadi tanpa mengorbankan kebutuhan orang lain.
- Memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi dan situasi baru.
- Rendah hati dan mampu mengendalikan emosi (nafsu).
- Dapat memaknai setiap peristiwa yang dihadapi sebagai suatu jalan menuju perbaikan.
Bagaimana membantu anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa utuh yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual?

1. “Hadirlah” untuk mereka dan dengarkan suara hatinya (mind, body and soul).
2. Perkenalkan nilai-nilai Anda dengan memberikan contoh.
3. Perlakukan anak sebagai makhluk Spiritual dengan misi tertentu yang harus mereka penuhi. Anda dapat mengamati hidup tapi tidak bisa mengontrol nasib mereka.
4. Akuilah “kebenaran” yang mereka sampaikan.
5. Bersikaplah terbuka atas pengalaman-pengalaman hidup mereka sekali pun “yang tidak enak”.
6. Ceritakan proses pengembangan kepribadian Anda selama ini.
7. Berilah kesempatan mereka untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri.
8. Bersedialah belajar dari mereka, artinya siap-siaplah “digurui” mereka.
9. Stop memberikan penilaian, atau labeling apalagi menganalisa mereka.
10. Tidak terlalu cepat membantu, beri mereka kesempatan berbuat menurut idenya sendiri.
11. Diskusikan masalah keluarga mulai dari hal-hal yang sepele, sesuai dengan umurnya.
12. Sadarlah bila mereka sukses, maka itu karena usaha mereka yang diridhai oleh Allah S.W.T, bukan karena cara pengasuhan Anda yang canggih.
13. Katakanlah dengan tulus, bahwa Anda mencintai mereka apa adanya.

Saya memahami bahwa tidaklah mudah merubah kebiasaan, namun renungkanlah cara-cara tersebut di atas sekarang juga, bayangkan manfaatnya bagi hubungan Anda dan anak-anak kelak ketika mereka sudah dewasa sebelum Anda mempraktekannya. Keluarga Anda Insya Allah menjadi sebuah keluarga yang terdiri dari para sahabat yang saling membutuhkan kasih sayang. Dan Anda pun tidak menjadi orang tua yang kesepian. Belum pernah ada satu pun teori pendidikan anak yang mutlak benar untuk semua anak, mengingat manusia secara individu adalah “UNIK”.


By: Rani A. Dewi

1 komentar:

  1. Betway in Tanzania - A Step-by-Step Guide - JamBase
    What to know about Betway in Tanzania? If you are 공주 출장안마 a fan of the Betway 충청북도 출장안마 brand, you may not 안성 출장마사지 have 논산 출장안마 noticed 청주 출장안마 how Betway has become one of the leading online

    BalasHapus